Selasa, April 08, 2008

Sehari bersama Ummu Hani, penulis Malaysia


Hallo, aku Camilla Chisni. Aku ada sedikit cerita mengenai kedatangan Ummu Hani pada hari senin, 7 April 2008 kemarin....Nih!

Jam di kos-ku sudah menunjukkan pukul 08.45 saat aku tergopoh-gopoh ke Fakultas Adab. Uff, untungnya Ummu Hani Abu Hasan, penulis novel Ladang Hati Mustika dan Mangku Tempurung Nenek berkebangsaan Malaysia ini belum menapakkan kaki di Fakutas Adab. Sembari menunggu, aku berbincang ria dengan beberapa teman dari Sanggar Nun. Tepat pukul 09.30, Ummu Hani beserta rombongan mulai menapaki lantai Adab. Dekan fakultas Adab; Pak Syihab, yang pagi itu didampingi oleh kritikus sastra, Pak Bahrum, menyampaikan luapan kegembiraannya atas kedatangan Ummu dan rombongan serta pada pihak LKiS yang turut hadir. Tak selang berapa lama, Ummu pun dipersilakan untuk bercerita mengenai novel sekaligus perkembangan dunia penulisan Malaysia.

Penulis berusia 25 tahun ini menjelaskan bahwa di Malaysia, para penulis amatlah dihargai, kesejahteraan mereka pun tercukupi. Bahkan bagi mereka yang masuk dalam penulis Perpustakaan Negara, mendapat kehormatan selayaknya Gubernur. Perhatian Pemerintah Malaysia dalam hal penulisan, baik karya sastra maupun akademik, dibuktikan dengan digulirkannya beberapa kebijakan, semisal: Sejak masih belia, anak-anak yang tampak berbakat di dunia tulis menulis diberi pelatihan gratis oleh pemerintah. Mereka di drill untuk mampu memperbaiki kualitas tulisan mereka di sebuah Sanggar Penulisan. Selain itu, pemerintah Malaysia juga menetapkan beberapa buku yang wajib dibaca oleh semua lapisan murid, dari SD hingga SMA. Beberapa karya yang pernah diwajibkan oleh pemerintah Malaysia adalah karya-karya Pramudya Ananta Toer.

Pada diskusi yang di translate ke dalam bahasa Indonesia oleh Saifullah Kamalie, kandidat doktor dari Universitas Malaya, para peserta diskusi tampak antusias. Diantara jajaran peserta diskusi, ada Abidah El Khaliqy dan Hamdi Salad, dua orang sastrawan terkemuka di Indonesia. Diskusi ini pun semakin lengkap dengan kehadiran Isnainiah, dosen jurusan Dakwah STAIN Surakarta yang merangkap sebagai pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Solo dan kawan-kawan dari Sanggar Nun. Pada diskusi tersebut, muncul beragam pertanyaan maupun statement. Misalnya yang diungkap oleh Abidah, dia mengatakan bahwa sastra di Malaysia cenderung mengapresiasi Islam dalam tataran normatif, belum pada tataran penafsiran holistik. Hal ini mengakibatkan munculnya proteksi-proteksi yang berlebihan terhadap karya sastra. Kondisi yang terjadi di Indonesia amat berbeda dengan hal tersebut. Sastra Indonesia melaju pesat dalam berbagai genre, ideologi maupun segmentasi. Aku sendiri berusaha menegaskan urgensi sebuah karya sastra lintas negara. Hal ini bisa direalisasikan dalam sebuah antologi cerpen yang menghimpun karya-karya terbaik dari tiga negara berbasis Melayu, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Harapanku, hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia yang meruncing dalam tataran politik praktis bisa diminimalisir melalui forum-forum sastra yang mewadahi dan merespon problematika negeri dalam bentuk karya-karya bermutu.

Tak terasa, matahari sudah mencapai tahtanya saat diskusi berakhir. Pada dentang 12.30, dengan dua mobil yang disediakan Fakultas Adab, Ummu beserta rombongan, aku, serta dua kawan dari Sanggar Nun, Yudin dan Hadi, berangkat menuju basecamp LKiS. Sesampainya di sana, kami semua disambut oleh para punggawa LKiS dan teman-teman Penulis Matapena seperti Sachree M Daroini, Zaki Zarung dan Pijer. Beberapa pertanyaan pun muncul, seperti yang ditanyakan Zaki mengenai proses kreatif novel dan bagaimana proses pembinaan tulis menulis di Malaysia. Mbak Retno mempertanyakan mengenai bagaimana bentuk apresiasi pemerintah terhadap penulis dan karya sastra. Pertanyaan tidak melulu dari kawan-kawan LKiS ke Ummu. Ummu pun banyak bertanya mengenai penerbitan di Indonesia, terutama yang sedang dilakoni kelompok penerbit LKiS.

Yup, guyuran hujan dan lecutan petir merendengi keasyikan diskusi yang diakhiri pada pukul 13.40 ini. Usai diskusi, rombongan tidak langsung pulang karena hujan deras. Setelah ditunggu sekian lama dan hujan tak kunjung reda, kami nekat pamitan dan sedikit demi sedikit laju mobil mulai menjauh dari basecamp LKiS.

Tak berselang lama, demi meredam nyanyian perut yang sedari pagi belum disuplai, kami mampir ke Ayam Bakar Wong Solo.

Uhh, nikmatnya nasi gratisan... ^_^

Jarum jam tepat di angka 4 saat rombongan Malaysia mulai berhenti melempar joke dan menyalami kami satu persatu.

Ah, tinggal aku, Yudin, Hadi dan Pak Sopir sekarang...

”Eh, tadi buku yang dikasih Matapena nggak kubawa ya?” Aku baru ingat!

Yudin meringis, ”Kayaknya ketinggalan di LKiS, Mbak!”

Sudah begitu, belum sempat tarik nafas dua kali...

”Hey, ini jalan menuju rel Timoho kan?” Wajahku mendadak pucat.

Temen-teman Sanggar Nun mengiyakan dengan nada khawatir. ”Mang kenapa lagi Mbak?”

Sembari menjinjing tas, aku berkata terburu ke Pak Sopir, ”Turun di depan aja, Pak. Mila harus les Bahasa Inggris nih. Kelupaan! Telat lagi!”

”Hahahahaa....” Kawan-kawan Sanggar Nun malah menertawakan muka pucat dan sifat pelupaku. Uuuh!

BY: CAMILLA CHISNI

Tak ada kesempurnaan yang instan, semua membutuhkan proses dan perjuangan