Minggu, Juli 13, 2008

"Aku jatuh cinta...tuk kesekian kali. Namun baru kali ini kurasakan
CINTA SESUNGGUHNYA.
Tak seperti dulu. Kali ini ada pengorbanan.
CINTA bukan sekedar kata-kata indah,
CINTA bukan sekedar buaian, belaian, peraduan.
Samudera cinta, dari palung hati. Tak terukur dalamnya perasaan.
PERPISAHAN tiba... mengundang air mata...."

Jumat, Juni 13, 2008

Senyum...


Mungkin semua masih berpusar pada senja yang sama;

Tak menyapa melalui kata

Ia masih saja bersembunyi dalam gumpalan awan;

mengelam, kian meradang

Ini masih tentang sebongkah rasa yang merebak

Meruah-meruah dan tumpah

Masih tentang selarik senyum

Yang tak bisa kumengerti

Tak bisa kutandai…

Jika lembah jiwa bisa melandai

Dan mengecup pantai

Maka hanya satu kata yang bisa aku ucap mengenai senyum itu:

”Mengapa di binar mataku hanya mengenal senyummu?”

Rabu, Juni 04, 2008

NAPAK TILAS; MALANG PENUH KENANGAN...

26 Mei 2008...Masih terlintas di pikiranku, satu wajah yang akan kutemui nanti selepas maghrib. Wajah yang teduh, lembut dan... Aaah, kugelengkan kepala dan mencoba memfokuskan pandangan pada betapa berantakannya tempat ini. Spanduk-spanduk yang siap dibentangkan, karton, megaphone dan kertas-kertas bertuliskan tuntutan aksi bertebaran di ruang diskusi kantor PMII Cabang Kota Malang, tempat ampiranku sebelum ber cuap-cuap di Hall Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB). Di organisasi ini aku digembleng hingga mendapat banyak pengalaman dan aku sangat berterimakasih untuk itu.
Trrit trritt...sebuah sms melesak ke HP ku: ”Mbak, sudah siap atau belum? Kami akan jemput ke sana.” dan setelah kupastikan semuanya sudah ready kubalas sms dari Samsud, punggawa acara di FIA. Tak lama kemudian, sebuah mobil yang menurunkan tiga cowok mendekati kantor dan tanpa basa-basi yang berlebihan, kami segera meluncur menuju kantor BEM FIA. Sesampainya di sana, barulah aku tahu bahwa pembanding kali ini adalah ukhti dari KAMMI. Akhirnya, setelah menunggu sambil ber haha-hihi dengan beberapa ukhti, aku, Samsud dan ukhti Yani siap beraksi. Samsud selaku moderator memberikan waktu kepada Yani terlebih dulu karena ia punya appoinment dengan koleganya. Yani tak memberikan kritik apapun bahkan membantu promosi novel dengan banyak mengungkap nilai plus dari Trilogi Ning Aisya. Yang sempat membuatku tersenyum, ia mengatakan ”Membaca karakter Ning Aisya, saya seperti melihat refleksi diri saya sendiri.” Lah, kenapa begitu saja aku tersenyum? Ya, karena dia hanya membaca sekuel 1 dan 2 (sekuel ke 3 kebetulan lagi kosong), wah....coba dia baca sekuel 3. Aisya kan sudah nakal-nakalnya!
Pada season tanya jawab, peserta banyak bertanya mengenai teknis penulisan, dan di akhir acara mereka menjawab tantanganku dengan mendeklamasikan puisi tanpa membawa secarik kertas. Mereka berhasil!! Ah...senangnya melihat mereka antusias! Pukul 13.30, mataku tiba-tiba terasa berat. Setelah undur diri dan berbincang dengan panitia usai bedah novel, Samsud mengantarkanku kembali ke Kantor PMII yang memang hanya berjarak 2 Km dari FIA. Begitu sampai kantor, aku menyegel sebuah kamar dan mem privatisasi nya untuk 2 jam ke depan.
Sore hari kulalui dengan diskusi mengenai rencana aksi Menolak Kenaikan BBM yang digelar besok siang. Pukul 17.30, adzan maghrib berkumandang dan kami segera menunaikan sholat maghrib berjama’ah. Setelah menyantap rawon favoritku, aku diantar teman menuju UKM UAPM (Unit Aktivitas Pers Mahasiswa) yang pernah menjadi sekolah kedua ku. Melewati gedung UIN yang menjulang, aku benar-benar ulap (terkesima). Keren banget! Asli! Coba gedung kuliahku dulu sebagus ini! Aku belum tanek menikmati indahnya UIN Malang, kawanku sudah menyeret ke UAPM. Sudah ditunggu kawan-kawan katanya. Di UAPM...tempat yang memiliki akar sejarah kuat di hidupku, aku merasa begitu haru, malu, senang, tumplek bleg jadi satu. Mulai dari tatapan kagum kawan-kawan, kernyitan penuh heran, hingga gojlokan yang tak kunjung usai mewarnai 2 jam pertemuan kami. Dan, aku tak tau pada detik keberapa persisnya, wajah teduh itu datang dengan senyum yang amat kukenal. Seketika, UAPM mengganggu tetangga UKM dengan riuh tepukan, siul dan entah apalagi. Aku yakin wajahku memerah, tapi aku mencoba mengembalikan fokus kawan-kawan pada diskusi sastra yang sedang kami lakukan. Yang paling kusyukuri dari pertemuanku dengan kawan-kawan UAPM adalah, aku bisa membuktikan diri bahwa meski aku hanya sebentar di UAPM, aku bisa menjadi seseorang yang berbeda (thanks a lot MATAPENA). Pukul 20.00 kami harus mengakhiri diskusi karena (aku baru tahu tentang ini) ada jam malam di kampus. Yah, meski sebenarnya kami masih betah, akhirnya kami hengkang juga.
Adalah Ani Rufaidah, orator ulung, penulis handal (ia juara LKTI tingkat Nasional) sekaligus kawanku di PMII dan UAPM yang mengajakku ke Averrous, sebuah NGO yang dimotori oleh kaum aktivis yang mengedepankan demokrasi dan progresifitas berfikir. Sesampainya di Averrous, yang buku-bukunya tadi pagi kutemukan di kantor PMII, aku menjadi mustami’ yang nggak nyambung dikarenakan keterlambatan hadir dan mata yang tidak bisa diajak kompromi. Pukul 22.30, aku menyerah. Diskusi ini bisa berlangsung sampai dini hari, sedangkan besok masih banyak yang harus kulakukan. Kami pamit dan Ani mengajakku ke kantornya, KOMDEK (Komunitas Malang untuk Demokrasi) yang dihuni oleh dua orang cewek. Masih belum subuh saat aku terbangun dan melihat Ani dan temannya masih berkutat dengan kesibukan. ”Belum pada tidur dari semalem?!” Mereka menggeleng sambil senyum-senyum penuh arti. Wah, kalau jadi aktivis ya gini deh, nglowo!
Sudah masuk 27 Mei 2008 ketika mantan sekertaris umum PMII Malang menjemputku di KOMDEK. Usai sarapan dan berkeliling di areal kampus, akhirnya aku bertemu dengan Azizah Hefni alias Zizi, cerpenis jebolan Bahrul Ulum yang sudah mengantongi predikat juara 2 lomba tulis cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan Menpora. Kami berdua meluncur ke rumah sastrawan Malang kaliber nasional, Ratna Indraswari Ibrahim. Di sana, Mbak Ratna banyak bertanya mengenai tulisanku. Melihat mbak ratna yang sangat produktif di usia senja, hatiku begitu trenyuh. Mengapa aku tidak pernah semangat menulis, padahal Allah sudah memberiku tubuh yang sehat dan usiaku masih muda. Pukul 13.30 siang, aku dan Zizi pamit. Tak berapa lama usai kami merebahkan badan, pukul 16.00 aku dibawanya menuju UKM LKP2M (Lembaga Kajian Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa) untuk mengisi diskusi sastra. Sejatinya, LKP2M banyak menelurkan orang-orang berbakat. Sebut saja, Fauzi Muda, penulis buku Perempuan Hitam Putih; Pertarungan Kodrat Hidup vis a vis Tafsir Kebahagiaan dan Sufi Juga Manusia, juga Ahmad Makki Hasan yang sangat produktif menulis di situs Penulis Lepas dan di banyak media. Tepat saat adzan magrib berkumandang, kami bubar barisan dan aku mengisi waktu dengan mencari makan. Pukul 20.00, aku didaulat untuk sharing pengkaderan di PMII Rayon Chondrodimuko UIN Malang. Energiku sudah menurun dan saat jarum jam menunjuk ke angka 22.00 aku minta undur diri. Maksud hati ingin segera tidur, tapi sahabat-sahabat Chondro dan BEM Tarbiyah menghendaki perbincangan intens mengenai bedah novel Ning Aisya yang akan diselenggarakan 7 Juni nanti. Aku menurut dan bilang pada mereka, ”Langsung pada persoalan ya, aku capek.”
Ha..ha...siapa nyana, di cafe lesehan N-PYE yang semarak, aku berjumpa dengan banyak sahabat PMII termasuk Fauzi Muda dan Liga Alam (teman di Forum Penulis Kota Malang yang merupakan penulis beberapa novel dan buku yang aku lupa judulnya). Ah, kalau bukan karena diingatkan kawanku, mungkin aku akan terus nyerocos padahal kala itu jarum jam sudah menujukkan pukul 1 dini hari. Akupun bergegas pergi dan semuanya kembali ke base camp masing-masing. Pagi harinya (28 Mei), aku mengisi waktu dengan silaturrahmi ke Pak Marno, dosen favoritku dan ke beberapa teman lama. Merapat di pukul 8 malam, aku didaulat untuk mengisi di HIMMABA (Himpunan Mahasiswa Malang Alumni Bahrul Ulum) hingga pukul 11. Bergerak menjauh dari kantor Himmaba, aku merasa plong, esok hari aku sudah bisa kembali ke rumah. Tapi, ternyata masih ada satu hal yang menyesakkan dadaku.
Wajah teduh itu masih saja pucat. Di selaput tenggorokannya ada darah yang hanya tampak ketika ia batuk dan mulai meludah. Dan semua orang meyakini itu terjadi karena aku pergi darinya 3 tahun silam..

Minggu, Mei 18, 2008

KI HADJAR DEWANTORO


Ing ngarso sung tulodo — di depan memberi teladan
Ing madyo mangun karso — di tengah membangun karya
Tut wuri handayani — di belakang memberi dorongan

Itulah tiga kalimat dari ajaran seorang ningrat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Pelopor Perguruan Taman Siswa ini kemudian diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional dan hari lahirnya 2 Mei 1889 diabadikan menjadi Hari Pendidikan Nasional oleh pemerintah pada tahun 1959.

Ki Hadjar Dewantoro memulai jenjang pendidikannya di Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) lalu k STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tidak tamat, dilanjutkan ke Europeesche Akte, Belanda dan mendapat Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957 dan meninggal pada tahun 1957.

Ki Hadjar Dewantara adalah sorang jurnalis yang pernah bekerja sebagai wartawan media cetak: Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara selain itu, beliau aktif dalam masa pergerakan nasional di dalam organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan Indische Partij pada tahun 1912. Sebuah momen yang kita kenal menjadi Kebangkitan Nasional, dirayakan setiap 20 Mei. Bahkan pada tahun 1913 beliau secara politik aktif dalam menentang Perayaan Seratus Tahun Belanda dari Prancis melalui Komite Bumiputra. Ditentangnya perayaan tersebut adalah karena pihak Belanda memeras rakyat untuk kepentingan perayaan tersebut. Salah satu ucapannya yang ditulis dalam koran Douwes Dekker de Express adalah bertajuk Als Ik Eens Nederlander Was –Seandainya Aku Seorang Belanda– yang berbunyi:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun.

Akibat tulisan tersebut beliau dibuang tanpa proses pengadilan ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg, namun atas tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo hukuman tersebut berganti menjadi dibuang ke negeri Belanda.

Sepulang dari pengasingan di Belanda –yang beliau gunakan juga untuk memperdalam ilmu– ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa –Perguruan Nasional Tamansiswa– pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Dari sinilah lahir konsep pendidikan nasional, hingga Indonesia merdeka Ki Hadjar Dewantara pun menjadi Menteri Pendidikan dan meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta.

Senin, Mei 12, 2008

SEMINAR NASIONAL, 10 MEI 2008


kata temen-temen sih seru...
kenapa aku bilang 'katanya'?
karena 5 hari ini aku sakit. Dan pas hari H, aku gak bisa dateng.
Padahal, aku diminta ngeMC.

Aku gakbisa deskripsiin juga cz belum nanya2 detil, wong kepala masih nyyuttt...nyyyutt..

Rabu, Mei 07, 2008

CATATAN MANTAN DEMONSTRAN


1: Bocah kelas 4 SD, berdiri di ruas jalan bersama ketiga temannya.

“Seharusnya kita tak perlu membolos!!” Sesal Indri, kawanku sejak kelas 1.

“Lantas, kenapa kau tadi ikut?!!” Bentakku, terang saja Indri langsung mengkeret. Septian dan Eko yang berdiri di sisi kiri Indri cuma cekikikan.

Aku, Leo, adalah siswa kelas 4 SDN 1 yang tak takut dengan anak sekolah SD manapun. Bahkan pada mereka yang sudah kelas enam. Apalagi cuma membolos dua jam pelajaran Bahasa Inggris yang membosankan!

Bagiku, apa yang aku, Indri, Septian dan Eko lakukan jauh lebih berharga ketimbang duduk manis mendengarkan Bu Ratmi bercerita dalam bahasa Inggris lalu meminta pada kami untuk menceritakannya kembali.

“Lihat, mereka mulai bergerak ke sini!!” Teriakan Septian membuyarkan lamunanku.

Seketika mulutku menyeringai lebar. “Waaw, keren banget ya? Lihat tuh yang berdiri di depan sambil megang megafon!! Pasti dia ketuanya!”

“Kalo kita gede, apa kita juga bisa seperti mereka?” Indri membetulkan letak gagang kaca matanya.

Aku mengangguk. “Nah, itulah pentingnya kita berdiri di sini. Aku percaya, suatu saat kita akan menggantikan mereka. Oleh karena itulah, kita harus melihat langsung dari sini agar tau aksi mereka secara menyeluruh.”

“Iya, ketimbang cuma dengarkan dongeng kan?” Sambung Eko sambil melambaikan tangan pada berduyun-duyun manusia yang menerjang dari ruas selatan.

Mataku mengawasi tiap gerak-gerik kakak-kakak mahasiswa. Dalam hati aku bertekad untuk jadi lelaki yang kuat. Yang pemberani dan ditakuti seperti ketua para demonstran yang mampu berteriak lantang:

HIDUP MAHASISWA!!

HIDUP RAKYAT!!

Bahkan dengan tenang tanpa teguran guru dan kekangan norma kesopanan berteriak:

ANJING!!

BULL SHIT!!

2. Dewa, Asisten teritorial (aster). Berdiri mengamankan rombongan demonstran yang putar haluan.

Buru-buru kutengok jam tangan. Jam dua belas lewat tujuh menit! Itu artinya, kami sudah melakukan aksi hampir 4 jam lamanya sementara matahari masih saja garang menerjang. Rencananya, kami akan bubar pukul 13.00 nanti. Berdasar rencana aksi yang sudah disepakati semalam, kami tak perlu melakukan long march dari Jl. Mawar hingga ke bundaran Rumah Sakit Amalia. Tapi sekarang?

Barikade polisi tentu sama terkejutnya denganku. Mereka tak mengira kami akan berputar haluan dari kantor DPRD ke arah alun-alun Kota. Barangkali Fredi Korlap melihat bahwa bisa terjadi chaos kalau kami tak segera beranjak dari kantor DPRD lantaran ada beberapa Ormas yang mendesak ingin berjumpa dengan ketua DPRD dalam rangka memperjuangkan hak-hak buruh. Tapi, ketua DPRD belum juga turun. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan long march melewati bundaran RS menuju alun-alun.

Satlantas yang sedikit terlambat mendeteksi arah gerakan kami, tak sempat membuat line khusus atau jalur alternatif karena massa sudah bergerak cepat dan memadati ruas jalan. Aku sendiri, selaku asisten teritorial, berdiri di samping barisan demonstran, membelakangi para pengendara jalan yang mulai memencet-mencet klakson saking tak sabarnya.

Sekujur tubuhku yang telah dilumat keringat, membuat adrenalinku berpacu cepat. Kubalikkan badan, menghadap pengendara motor yang memandangku nyalang.

“Sabar dikit kenapa sih Pak?” Tanyaku emosional.

“Demo ya demo Mas, tapi kenapa tiba-tiba menggunakan jalur sempit ini? Kami terlanjur sampai sini dan terjebak oleh aksi kalian! Aku harus buru-buru antar anakku ke Rumah Sakit!” Jawab Bapak berkumis lebat dari atas motornya.

“Kami ini sedang berjuang untuk rakyat. Menentang Bush yang sama sekali nggak menghargai HAM!! Jadi, tolong, bersabarlah Pak! Paling-paling lima belas menit lagi bersih!” Aku berusaha menurunkan intonasi. Tapi, kulihat air muka bapak itu justru tertawa memuakkan. Lebih tepatnya melecehkan.

“Dan apakah kalian tidak mengganggu hak kami sebagai pengguna jalan?!”

Aku tersentak, sejenak. Kupelototi bapak itu tanpa sungkan. “Ok, kami akan bergerak secepatnya! Jadi tolong jangan pencet bel lagi. Pekak tau!!”

Dengan langkah cepat, kuambil megafon di tangan Endang, meneriakkan kepada semua barisan untuk mempercepat langkahnya menuju alun-alun kota. Sekilas, aku melihat kantor DPRD yang masih dipadati Ormas lain. Tampak seorang anggota DPRD berdiri menenangkan massa dengan dikawal ketat oleh aparat.

“Ah, andai aku ketua DPRD dan bukan mahasiswa lebus begini, tentu bapak berkumis tadi tak berani melecehkan aku seperti itu!!” Runtukku sambil mengembalikan megafon pada Endang sang orator.

3. Ketua DPRD, mengusap peluh dan mengintip lewat korden ruangan .

Ah, tau apa anak-anak bau kencur itu tentang hak-hak buruh?

Mereka tak paham, bahwa industri membutuhkan tenaga kerja murah untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan? Toh buruh-buruh itu memang layak dapat pesangon seadanya, daya nalar intelektual mereka kan rendah?!

Tapi, saya akan mencoba untuk bersikap tenang dan tersenyum. Bukankah setiap pejabat haruslah bersikap selayaknya orang terhormat? Berpakaian selalu rapi dan wangi, berjalan tegap tanpa banyak cakap, kalau ingin tertawa atau tersenyum, cukup dikulum?

Ah, kalau boleh jujur. Saya juga ingin sesekali melepas jas lantaran sinar matahari yang kian mengganas. Saya pun ingin tergelak saat melihat mahasiswa yang orasi tiba-tiba tersedak. Saya melongokkan kepala, ingin tahu berapa banyak lagi massa yang bergerak ke mari karena itu sangat berpengaruh pada berapa menit lagi saya berdiri kaku di sini. Ya, saya toh manusia biasa yang berhak merasa lelah bukan? Namun, alangkah terhenyaknya saya saat melihat empat orang bocah berpakaian merah putih berdiri di ruas jalan Mawar.

“Sekarang masih jam dua belas kan?” Tanya saya pada ajudan

“Iya pak, lebih tepatnya jam dua belas lewat tujuh menit.” Jawabnya sambil sedikit membungkuk.

Alis saya bertaut. Bukankah mereka belum waktunya pulang sekolah? Kenapa bisa ada di sana sambil melambaikan tangan pada para demonstran? Apa mereka berfikir bahwa para demonstran adalah pahlawan? Lalu, apakah kerja keras saya tidak layak dibanggakan dan hanya menjadi sasaran kecaman bila ada sedikit saja kesalahan?

“Pak Min, berat ya jadi DPR. Coba kamu lihat anak-anak SD di sana. Enak ya mereka? Lambaian tangan mereka pada demonstran menunjukkan bahwa mereka bahagia dan tenang. Sedangkan kita? Pusing!!”

Pak Min menatap saya dengan raut tak mengerti.

4. Anggota SATLANTAS, hobi ‘nyari uang tambahan’

“Yang anjing itu kalian!! Mengganggu rencanaku untuk operasi dadakan di simpang tiga!” Aku mengoceh lirih, karena aku tau berteriakpun takkan berarti apa-apa dibanding gegap gempita mahasiswa.

Memang masih pertengahan bulan, tapi gara-gara istri minta perhiasan, aku terpaksa operasi sendirian. Yah, itung-itung nambah penghasilan dari para pengguna jalan yang tidak taat peraturan. Tapi kalau ada demo begini, ya harus stand by di tempat! Wah, gagal deh rencanaku!!

“Hei!!” Teriakku sambil memasang muka sangar pada empat bocah SD yang hendak ikut dalam barisan demonstran. “Kalian anak SD jangan ikut-ikutan!!”

Mungkin karena badanku tinggi-kekar, keempat bocah itu langsung gemruduk mundur ke belakang.

“Sial!!” Umpatku saat seorang asisten territorial tanpa sengaja menabrak tubuhku. Tanpa rasa bersalah, aster tersebut tetap berlari menuju seorang orator perempuan dan meminta megaphone darinya. Tak lama kemudian, aster tersebut mencoba untuk mengendalikan massa agar bergerak lebih cepat.

Saking kesalnya, aku bergerak mundur menjauhi rombongan demonstran tanpa sepatahpun kata pisuhan yang boleh terlontar. Kami, para aparat diajarkan untuk tak terprofokasi oleh ocehan demonstran yang dengan anarkhis turut mengatakan kami ‘anjing’ hanya karena kami bersikukuh menjaga stabilitas dan keamanan warga lain. Mati-matian aku menahan diri untuk bersabar dan diam. Sekilas, tampak olehku, seorang bapak pengendara motor. Ada kumis melintang kasar di wajahnya. Mulutnya mengocehkan kata-kata, entah apa tentu tak kedengaran dari sini. Tapi, dari ekspresi wajahnya, nampak kalau ia sedang memaki-maki para demonstran yang mungkin ia nilai mengganggu aktifitasnya.

Ah, andai aku bukan polisi. Andai aku cuma pengendara dan bukan aparatur Negara, tentu aku tak dibebani kewajiban untuk bersabar dan diam seribu bahasa. Bukankah aku, juga kawan-kawan polisi lainnya juga manusia biasa yang punya amarah?

5. Pengendara motor berusaha menenangkan anak lelakinya yang terserang muntaber lantaran terjebak dalam arus demonstran

Untung saja, Boby sudah kuberi pampers. Kalau tidak, bisa jadi dia kecirît di celana lantaran macet di tengah jalan.

“Pak, Boby nggak tahan nih. Pengen muntah juga…” Runtuk Boby dari belakang punggungku.

“Tenang ya Bob.” Ujarku sambil memencet klakson berulang-ulang. Aku benar-benar bingung, risau, kenapa para demonstran tak menghormati pengguna jalan? Kenapa mereka tak tertib dan bersikap serta berbicara sopan? Mengapa mereka menjatuhkan kebesaran almamaternya dengan bersitegang dengan Ormas lain hanya untuk sebuah prestise atau politik media? Lantas, benarkah mereka melakukan semua ini sebagai bentuk rasa tanggungjawab dan kepedulian akan nasib bangsa, ataukah hanya sebagai upaya memulihkan citra pergerakan yang terlanjur melempem? Lucu sekali jika mahasiswa pada akhirnya hanya terephoria dengan status sosialnya tapi tak punya taring!! Atau memang punya taring dan kuku tajam tapi hanya untuk dikatakan sebagai ‘singa jantan’ dan bukan menopang kepentingan rakyat dan kemaslahatan!!

Seorang mahasiswa gondrong yang aku yakin bertindak sebagai aster dengan tidak sopan memprotes suara klaksonku yang katanya membuat telinganya pekak. Saat ia bicara soal HAM, kubilang saja , bukankah dia juga sedang melanggar hakku?

Ha..ha…lucu rasanya mendengar mulutku berbicara soal HAM. Padahal, puluhan tahun silam. Tepatnya pada akhir 1965. Saat aku masih menjadi aktifis mahasiswa yang memperjuangkan TRITURA. Dengan almamater warna kuning kebanggaan kami, kami melakukan aksi yang bahkan jauh lebih dahsyat ketimbang saat ini.

Dengan kasar kami memblokir jalan, merampas es dari penjual minuman lantaran kami kehausan dan tak jarang kami meninggalkan kewajiban ritual semisal sholat dan diganti dengan orasi-orasi yang diselipi kata-kata ‘anjing’, ‘bangsat’ dan sebagainya. Dzikir dan mengaji berganti spaneng-spanengan membicarakan strategi gerakan.

Kini, aku berada dalam posisi rakyat biasa yang sibuk mengurus keluarga. Bukan mahasiswa yang selalu tampak keren, idealis, berapi-api dan selalu merasa benar, menjadi pejuang rakyat dan sebagainya.

“Bapak, sudah bisa lewat tuh!” Boby mengembalikan kesadaranku menuju bumi.

Segera kustrarter motor dan melaju cepat menuju RS. Melati. Wajah Boby tampak semakin pucat dan penuh keringat. Sesegera mungkin aku menemui dokter . Namun betapa terkejutnya aku sesaat setelah Boby diperiksa, Pak Dokter mengatakan bahwa Boby harus menjalani rawat inap. Tanpa banyak pikir kuiyakan saja saran dokter, walaupun sebenarnya……

***

12.50 WIB. Merenung di halaman Rumah Sakit…

“Bagaimana ini, uang terbatas, si Boby masih harus rawat inap…” Runtukku pada bangku kosong di depanku.

“Hutang? Hutang kemana?” Cerocosku pada sang surya.

Kuperas otak.

“Aha!! Iya, aku ingat, Pak Gum punya hutang 500 ribu padaku sebulan lalu. Ya, kenapa tak aku tagih sekarang?” Kusambar jaket yang kuselempangkan asal saja di bangku halaman. Kupakai dengan tergesa, setergesa langkahku menuju gerbang keluar.

“Pak!! Pak yang berjaket hitam dan berkumis!!” Suara seorang bocah serasa membuntutiku.

Kutoleh. Ternyata hanya bocah penjual koran seusia Boby yang pincang di kaki kiri. Di tangan kanannya ada…

Kudekati ia, setengah berlari. “Kamu temukan dimana, Nak?”

“Di dekat bangku sana. Kelihatannya jatuh saat Bapak buru-buru memakai jaket..” Diangsurkannya dompet kumal padaku dan kubalas dengan rasa terimakasih yang mendalam.

“Masih sekolah, Nak?” Tanyaku pada akhirnya.

“Ya, tapi hari ini aku bolos..” Jawabnya sembari menundukkan kepala. Terlihat sangat menyesal tidak dapat mengikuti pelajaran. Aku jadi teringat empat orang anak yang mungkin juga membolos ‘hanya’ karena ingin melihat demo beberapa menit lalu.

“Ibuku sakit. Aku harus mencari uang tambahan untuk pengobatan beliau. Jadi, aku harus kerja ekstra. Biasanya sih cuma jual minuman sehabis pulang sekolah Pak.”

Penjelasannya benar-benar menohok ulu hati. Menggantungkan tanda tanya dalam benak diri. “Maaf, tapi sejujurnya aku sedikit heran. Bukankah kamu sedang sangat membutuhkan uang, jika kamu mau tentu kamu bisa mengambil uang dalam dompetku bukan?”

Bocah pincang itu tersenyum, menggeleng. “Ibuku pernah mengatakan padaku -setiap orang tentu mempunyai hak dan kepentingan, tapi kita harus menghormati hak dan kepentingan orang lain- Begitulah Pak…”

Mulutku melongo. Jiwaku serasa ditampar dan kesadaranku terlempar. “Oh, Tuhan, dalam kesederhanaan dan keterbatasannya, bocah sekecil dia ternyata jauh lebih arif dari pada kami yang melulu melakukan sesuatu atas dasar kepentingan individu. Oh Tuhan..berikan kami kesadaran…”

Selasa, Mei 06, 2008

PAUD DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF


    Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
dijelaskan dalam UU No 20 tahun 2003
tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 28.
Dalam pasal 28 dijelaskan bahwa yang
dimaksud PAUD adalah pendidikan sebelum
jenjang SD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, non formal dan informal.
PAUD jalur formal berupa Taman Kanak-kanak (TK)
Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Sedangkan PAUD non formal bentuknya adalah Kelompok Bermain
(KB),Taman Penitipan Anak (TPA) atau bentuk lain yang
sederajat. Dalam Pasal 1 ayat 14 :
Pendidikan usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada
anak yang sejak lahir sampai dengan usia enam tahun

Sedangkan menurut Seksi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Inklusif Divisi Pendidikan Dasar-Sektor Pendidikan UNESCO menyatakan bahwa yang dimaksud PAUD adalah berbagai macam jenis pendidikan baik formal, informal maupun non formal untuk anak usia 0-6 tahun.

Jadi, yang dimaksud PAUD bukanlah suatu jenis pendidikan tertentu sebelum TK melainkan kategorisasi jenjang pendidikan berdasar kisaran umur. Kisaran umur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah anak usia 0-6 tahun sesuai dengan yang termaktub dalam pasal 1 ayat 14.

PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan: daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi dan sosial dengan metode bermain dan hal-hal lain yang menyenangkan serta lebih mementingkan proses dibanding hasil sehingga tidak terlalu memaksakan kepada si anak untuk menguasai ini dan itu.

Situs resmi BKKBN memberitakan bahwa pada 2006, PAUD memperoleh anggaran Rp 135 miliar ditambah Rp 9 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Menurut Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidikan Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional (Dirjen PLS-Depdiknas), Dr Gutama, jumlah tersebut masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan peningkatan akses PAUD secara maksimal. Pada 2007, sudah dipastikan PAUD akan memperoleh anggaran Rp 199 miliar. Dana sebesar itu, kata dia, akan dipergunakan untuk sosialisasi serta peningkatan dana rintisan dan kelembagaan.

Merespon dari sikap pemerintah yang antusias terhadap PAUD baik formal maupun non formal, perlu kiranya untuk menganalisis kebijakan PAUD ini dari berbagai perspektif.

  1. TEKS YURIDIS

Secara yuridis, bergulirnya tema PAUD dalam UU Sisdiknas menuai kontroversi mengenai definisi PAUD terkait dengan kata-kata yang bermakna “PAUD bisa diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal.”

   Pasal yang dirujuk dalam upaya untuk review
yuridis ini adalah pasal 28 ayat 2 yang berbunyi
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselengga
rakan melalui jalur pendidikan formal,
non formal,
dan/atau informal”.
   Ayat ini dapat direvisi dengan menghilangkan
kata-kata
“pendidikan formal” dengan pertimbangan yuridis:
 1. Pasal 1 ayat 11 : Pendidikan formal
adalah jalur pendidikan yang terstruktur
dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi.
2. Pasal 1 ayat 12 : Pendidikan nonformal adalah
jalur pendidikan di luar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang.
3. Pasal 14 : Jenjang pendidikan formal terdiri
atas pendidikan dasar, menengah, dan
pendidikan tinggi.
4. Pasal 17 ayat 2 : Pendidikan dasar berbentuk
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat.
5. Pasal 26 ayat 3 : Pendidikan nonformal
meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, dst….
      
Pemaknaan kata “pendidikan formal” menjadi ambigu dan
kontradiktif manakala pasal 28 ayat 2 dibenturkan
dengan makna kata “pendidikan formal” yang dimaksud
dalam pasal 1 ayat 11 dan seterusnya di atas.
Dan sebagai akibat perubahan tersebut, maka
pasal 28 ayat (3) yang berbunyi :
Pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk
Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA),
atau bentuk lain yang sederajat”
perlu dihilangkan

  1. PSIKOLOGIS

Secara psikologis, kebutuhan akan PAUD merupakan keniscayaan. Dalam Psikoanalisa Freud dijelaskan bahwa; pada usia 3-6 tahun, manusia mengalami perkembangan emosional yang sangat pesat. Segala kejadian, pengetahuan dan gejolak emosional pada rentang usia ini akan sangat berpengaruh pada rentang usia berikutnya. Bahkan, dikatakan Freud, sifat dan agresifitas seseorang di masa dewasa dapat dilihat ketika ia berusia 3-5 tahun.

Namun, hal yang meresahkan dari maraknya orang tua yang menitipkan anaknya ke PAUD adalah renggangnya hubungan psikologis antara anak dengan orang tua. Bagaimanapun, hingga usia 6 tahun, seorang anak masih sangat tergantung pada orang lain. Minimnya kualitas dan kuantitas pertemuan dengan keluarga sedikit banyak akan berpengaruh pada kedekatan emosional diantara anak dengan orang tuanya.

Selain itu, anak usia dini cenderung adoptif sehingga sangat diperlukan lingkungan yang sehat. Hal ini harus menjadi perhatian bagi keluarga maupun pengelola PAUD. Yang lebih urgen, PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan: daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi dan sosial dengan metode bermain dan hal-hal lain yang menyenangkan. Penyelenggara PAUD harus bertindak hati-hati dalam meletakkan dasar ke arah pertumbuhan tersebut agar tidak menyalahi kodrat psikis anak-anak yang lebih menyukai bermain ketimbang belajar.

  1. FISIOLOGIS

Menurut hasil penelitian di bidang neurologi, ternyata 50 persen perkembangan kapasitas intelektual anak sudah selesai pada usia empat tahun pertama, dan mencapai 80 persen pada usia delapan tahun. Penelitian lain juga membuktikan bahwa anak-anak pada usia di bawah lima tahun memiliki intelegensi laten (potential intelegence) yang luar biasa. Jadi, secara fisik, pertumbuhan pesat terjadi pada anak-anak usia dini. Berdasarkan hal inilah, PAUD bisa terus dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hal:

a. Kecerdasan tiap anak berbeda, karena itu pengajar PAUD tidak patut mengharapkan hasil yang sama pada setiap anak;

b. Ketahanan tubuh setiap anak tidak merata, dan oleh sebab itu pengajar PAUD sedianya mengetahui matriks kesehatan anak didiknya.

c. Fungsi motorik setiap anak memiliki perbedaan dalam hal pertumbuhan, kepekaan maupun kemampuannya.

  1. EKONOMI

Maraknya PAUD membawa dampak ekonomis yang cukup signifikan.

a. Manfaat ekonomis untuk masyarakat: Maraknya lembaga pendidikan akan memperbanyak peluang kerja bagi masyarakat, semisal: para sarjana pendidikan yang masih menganggur, penjual mainan, penjual makanan ringan, dan lain sebagainya

b. Manfaat ekonomis untuk pemerintah: Berkaitan dengan upaya peningkatan akses PAUD hingga ke seluruh Indonesia, Depdiknas telah melakukan satu kesepakatan berbentuk MoU yang ditandatangani langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo serta empat pimpinan organisasi wanita yakni Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), PKK, Muslimat NU dan Aisyiyah, pada akhir tahun 2005 lalu. Kemitraan yang berjejaring lewat jalur non formal ini sangat membantu pemerintah dalam merealisasikan anggaran pendidikan. Dengan mengeluarkan dana rintisan 199 miliar pada 2007, pemerintah bisa mendapatkan keuntungan dari terberdayakannya SDM dan meluasnya PAUD swadana masyarakat yang apabila dikalkulasi mencapai keuntungan materiil jangka panjang lebih dari 80%.

Namun, di balik iming-iming menggiurkan tersebut, side effect dari maraknya PAUD yang tidak tepat sasaran dan tepat guna adalah:

a. Masyarakat kelas menengah ke bawah kesulitan untuk mengakses PAUD yang berkualitas karena mahalnya biaya yang dibebankan pada orang tua.

b. Dana rintisan yang telah dikeluarkan pemerintah kadang-kadang dimanipulasi dan tidak digunakan untuk mengembangkan PAUD sehingga dana yang telah dikucurkan tidak tepat guna dan terjadi pemborosan APBN dan APBD.

  1. POLITIK

Secara politis, perhatian serius pemerintah terhadap PAUD merupakan suatu kebijakan yang populer. Usai reformasi pecah, pemerintah mati-matian berusaha mengembalikan citra baik dan wibawanya. Dan salah satu kebijakan yang dinilai populer adalah aktualisasi PAUD. Selain itu, keuntungan politis, baik yang bersifat materi (uang lelah saat rapat-rapat perencanaan kebijakan PAUD, proyekisasi yang berujung pada disunatnya dana yang dialokasikan untuk perencanaan dan pelaksanaan PAUD, dsb) maupun non materi (prestise para penggagas, jabatan dalam proyek, dsb) merupakan keuntungan politis bagi para pembuat kebijakan.

Selain keuntungan internal dalam negeri, wibawa pemerintah yang jatuh di mata internasional menjadi terangkat karena pada waktu itu UNESCO sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan mengenai pentingnya pendidikan pada usia dini. Keterlibatan dan dukungan pemerintah RI akan menaikkan bargain position nya di mata dunia internasional.

Yang kemudian menjadi problem tatkala pemerintah hanya mengedepankan keuntungan politis dan bukannya realitas empirik mengenai kondisi pendidikan Indonesia yang mengenaskan (Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan Unit Nation Development Program (UNDP) melaporkan bahwa Indonesia berada pada rangking 108 tahun 1998, rangking 109 tahun 1999, dan rangking 111 tahun 2004 dari 174 negara yang diteliti. Dan pada tahun 2005, peringkat pendidikan Indonesia masih di bawah Vietnam yang berada pada urutan yang ke 108) adalah; munculnya ketidakseriusan dalam realisasi program PAUD yang membawa dampak serius pada sektor ekonomi, sosial, dsb.

Dari sektor ekonomi, ketika pemerintah bertele-tele dalam membahas realisasi PAUD, maka banyak dana keluar sia-sia. Dan ketika kebijakan ini tidak digarap serius dan disunat hingga sekian persen, otomatis masyarakat tidak akan mampu mengakses layanan PAUD murah dan hal ini akan membawa dampak sosial yang berupa kesenjangan tajam antara kaum borjuis dan proletar. Akhirnya, program PAUD hanya menjadi proyek siluman yang tidak menyentuh pada kebutuhan masyarakat luas.

  1. SOSIAL-BUDAYA

Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan telah tumbuh. Dan hal ini merangsang tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan harus dilaksanakan sedini mungkin. Kesadaran sosial yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat global yang kompetitif ini membuat PAUD menjadi sebuah kebutuhan sosial-budaya yang tidak terelakkan.

Selain kesadaran yang telah tumbuh, kultur masyarakat Indonesia (terutama masyarakat kota kelas menengah dan menengah ke atas) telah mengalami pergeseran, yakni dari kultur masyarakat agraris (agricultural era) menjadi kultur masyarakat industri (industrial era). Pergeseran ini membawa dampak pada tingginya angka kesibukan orang tua, yang semakin menegaskan pentingnya penyelenggaraan PAUD. Selain sebagai wahana belajar, PAUD –diakui atau tidak- menjadi tempat penitipan anak akibat kesibukan orang tua yang tinggi.

Sisi buruknya, orang tua cenderung menyerahkan pendidikan anaknya secara total pada penyelenggara PAUD. Hal ini menandakan adanya pergeseran peran sosial yang utama bagi para orang tua; yakni mendidik anak. Selain itu mismatch mengenai PAUD juga sering terjadi lantaran hasil yang dicapai anak tidak sesuai dengan ekspektasi orang tua yang mengandaikan anaknya telah menguasai baca, tulis, hitung (calistung) begitu lulus PAUD. Padahal, penyelenggaran PAUD lebih berorientasi pada proses bukan hasil.

  1. FILOSOFIS

Locke berpendapat bahwa manusia terlahir seperti kertas putih yang padanya bisa dicoret gambar dan warna apapun sesuai lingkungan yang membentuknya (teori Tabularasa). Locke dalam klasifikasi konsep mengenai potensi manusia termasuk dalam kategori penggagas teori Empirisme. Empirisme mengandaikan bahwa manusia amat dipengaruhi oleh lingkungannya, sehingga pendidikan menjadi sebuah proses yang mutlak adanya. Pendidikan sendiri merupakan suatu proses yang menjadi dasar bagi pembentukan manusia yang utuh baik psikis, fisik maupun ruhaninya (berdasar asumsi filsafat PI yang membagi komponen manusia menjadi tiga bagian di atas).

Berdasar kajian filosofis di atas, maka peran PAUD menjadi lebih besar. Seorang anak, dalam filsafat empirisme, memerlukan dorongan dari luar dan tidak mungkin bisa berkembang tanpa pendidikan yang memadai. Unsur potensi bawaan dalam Empirisme bukan hal yang mempengaruhi laju kembang seorang anak. Berbeda dengan Empirisme, Nativisme yang digagas oleh JJ. Resseou meyakini bahwa yang paling mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah potensi bawaan yang terkadang genetikal. Meski demikian, bukti empiris-aksiologis menunjukkan bahwa pendidikan merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat dan dilakukan oleh manusia manapun di belahan bumi.

  1. AGAMA

Dalam agama Islam, kita mengenal konsep mengenai fitrah manusia yang masih memerlukan pendidikan terutama dari keduaorangtua si anak.

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua bapak ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”

Serta pendidikan sepanjang hayat (long live education)

“Tuntutlah ilmu dari buaian ibu hingga ke liang lahat”

Membentuk dan membina keluarga Islami merupakan tujuan luhur setiap pasangan muslim. Keluarga islami adalah model berkeluarga yang wajib diwujudkan karena berkeluarga adalah salah satu bentuk ibadah yang telah ditentukan. Jika semakin banyak keluarga yang memahami tujuan berkeluarga ini, maka diharapkan semakin mudah membentuk masyarakat Islami, karena awal dari terbentuknya masyarakat Islami adalah dari pribadi-pribadi yang lahir dari keluarga yang Islami pula. Dan dalam rangka membentuk pribadi yang Islami, haruslah dimulai dari usia sedini mungkin.

Berdasar konsep di atas, yang jadi persoalan adalah mengenai pihak yang memiliki peran paling besar dalam pendidikan anak. Tak lain tak bukan adalah keluarga. Dengan adanya PAUD, diharapkan tidak membuat para orang tua lupa akan kewajibannya ebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Bagaimanapun, meninggakan dzurriyatan dzi’aafan merupakan hal yang sangat merugi. Terbentuknya dzurriyah thayyibah memerlukan campur tangan orang tua yang shalih. Nabi telah bersabda:

“Setiap dari kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Dari berbagai perspektif di atas, kelompok kami mengambil sikap; mendukung terselenggaranya PAUD dengan beberapa kritik:

1. Perlu adanya peninjauan kembali (PK) mengenai landasan yuridis PAUD agar tidak ambigu.

2. Pendidikan terhadap anak usia dini bukan pengajaran yang menjadi tekanan. Dalam pendidikan moral, nilai agama, sosial, emosional, dan kemandirian melalui kegiatan belajar pembiasaan. Sedangkan pembentukan dan pengembangan kemampuan dasar berbahasa, kognitif, fisik, motorik, dan estetika dikemas dalam program bermain sambil belajar.

3. Tenaga pengajar dan pengelola PAUD adalah pendidik profesional yang memiliki kompetensi sosial, profesional, paedagogik dan kompetensi kepribadian yang mumpuni.

4. Kebijakan PAUD tidak dijadikan komoditas politis yang hanya berorientasi pada kepentingan segelintir orang. Pemerintah hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan sektor riil yang berguna bagi kemajuan peradaban Indonesia di masa mendatang.

5. Kesadaran mengenai urgensi pendidikan tidak hanya dimiliki oleh kelompok masyarakat kota melainkan juga menyentuh masyarakat miskin-pedesaan. Hal ini bisa diatasi dengan mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya PAUD hingga ke daerah-daerah.

6. Sosialisasi harus diimbangi dengan adanya fasilitas dan anggaran yang cukup untuk merealisasikan PAUD

7. Para orang tua, meski dengan kesibukan yang tinggi, sebisa mungkin untuk tetap meluangkan waktu bersama anak-anaknya. Bagaimanapun hebatnya pendidikan di luar rumah, apabila anak-anak merasakan keterabaian ketika ia kembali ke rumahnya, maka pendidikan pun tidak berjalan secara sempurna sehingga hasil yang diraih pun jauh dari harapan. Hal ini dikarenakan, pengembangan potensi kecerdasan seseorang hanya bisa optimal jika diberikan sejak usia dini melalui berbagai stimulasi seluruh indera dan emosionalnya.


Senin, Mei 05, 2008

TUNA ASMARA




Lalu segalanya berubah kelabu. Bahkan kupu-kupu yang tiba-tiba saja hinggap di punggung tangannya tak mampu mendepak segala galau dan risau. Alisnya masih saja bertaut, sedang matanya terpaku pada secarik kertas undangan warna pink lembut yang terkapar di atas lutut. Lama, akhirnya ia hanya bisa bertopang dagu mengiringi atmosfir bumi yang membeku.

“Bahkan alam pun mampu menelisik gejolak jiwaku...” Batinnya sembari menatap arakan awan hitam yang menyeringai ganas pada sang surya.

“Ini bukan tentang kesendirian, atau kebekuan. Tapi bisakah mereka menerima kenyataan bahwa hidup senantiasa dijejali dengan keragaman dan perbedaan?” Gumamnya tanpa mempedulikan bisik-bisik -sesekali sambil ngikik- dari beberapa perempuan berusia tujuh belasan.

“Lihat Amara!! Pasti dia bingung akan pergi ke PENSI dengan siapa!” Ujar seorang dari gerombolan perempuan.

“Ya, perempuan aneh itu pasti tidak akan datang ke sana..” Sahut yang lain

“Karena ia tidak punya pacar!”

“Ya, dia kan tuna asmara!!!” Teriak yang paling jangkung diantara mereka.

“Ha..ha...ha...” Akhirnya kompak tertawa berderai-derai.

Ya, begitulah gunjingan perempuan-perempuan pada Amara. Amara membisu. Bukan karena tak mendengar kasak-kusuk itu, tapi ia lebih memilih acuh.

“Untuk apa menanggapi kata-kata sinis dari gadis-gadis ceriwis? Oh Tuhan, mereka bahkan bukan gadis! Berdasarkan gosip yang kudengar, mereka bahkan sudah tak perawan! Nah, untuk apa mereka aku dengarkan?”

Dengan langkah yang lebih riang, Amara beranjak dari bangku taman SMA 6 menuju kelas karena bel tanda istirahat telah usai tengah berdengung panjang.

***

“Kau akan pergi ke PENSI dengan siapa, Amara?” Tanya Rika.

Amara menggigit bibir sejenak. “Haruskah, dengan siapa?

“Itu aturannya. Harus datang dengan kekasih kita. Tapi, kau bisa ajak tetangga atau sepupumu.”

“Gang Ampera!!” Teriak kernet bus kota, memenggal dialog dua sahabat itu.

Rika segera berdiri dari kursi, menepuk bahu Amara lembut dan berkata. “Suatu saat kau harus berani jujur dan menjadi diri sendiri!”

Amara tersentak. Kalimat sederhana itu menelusup tajam, menyekat tenggorokan. Retinanya masih menangkap seulas senyum Rika sebelum akhirnya Rika benar-benar turun -setengah melompat- dari bis.

“Jujur pada diri sendiri? Menjadi diri sendiri?” Gumam Amara.

Otaknya melaju cepat, mencoba berontak dari keterkungkungan yang selama ini membunuh hasrat dan gairahnya. Menumpulkan harapan dan kejujurannya.

“Ya, kenapa tidak? Kenapa selama ini aku sembunyi dan lari?”

Lalu ia pun tersenyum.

Bukan pada matahari yang mulai mengendap-endap keluar dari dekapan awan.

Bukan pada lelaki tampan yang tiba-tiba duduk menggantikan posisi Rika di sebelah kanan.

Bukan pada apa-apa. Atau siapa-siapa.

Cukup untuk dirinya sendiri.

***

Sengaja, ia matikan televisi. Padahal film kartun kesukaannya, Doraemon, tengah diputar. Acapkali, saat ia menonton film legendaris itu, ia berharap dapat meminjam kantong ajaib barang sehari dua hari. Jika itu tak mungkin, ya satu-dua jam lah! Kalau masih tak bisa, satu-dua menit cukup baginya. Yang diinginkan Amara tak banyak. Ia takkan meminta rangking satu, karena ia jawara kelas sejak SD dulu. Pun bukan wajah dan tubuh menarik, karena siapapun pasti sependapat bahwa Amara punya keduanya. Atau uang melimpah? Tentu tidak. Ia dilahirkan dari trah bangsawan sekaligus jutawan. Kalau toh ia suka naik bis ketimbang marcedez, tak lebih karena ia sosok yang luar biasa sederhana, entah dalam sikap, gaya hidup maupun bertutur kata. Ia pun menjadi pribadi yang dipuja banyak lelaki dan sering membuat perempuan lain iri hati.

Amara hanya ingin satu hal. Satu saja.

Distarternya motor kencang-kencang. Tak lama kemudian, motor warna merah menyalanya sudah terparkir di sebuah rumah mungil bergaya eropa.

“Honey...kenapa tak memberitahu dulu? Aku kan bisa menyiapkan makan atau apa-lah untuk menyambutmu..” Ujar pemilik rumah usai memeluk erat Amara.

Amara memberikan kecupan hangat di pipi lawan bicaranya. “Tak usah repot Rey. Aku kesini karena ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”

Rey, sang pemilik rumah, segera memeluk pinggang Amara dan menuntunnya duduk di sofa. “Ada apa sebenarnya? Sepertinya sangat serius!”

Amara merogoh tas, mengeluarkan kertas warna pink. “Undangan Pentas Seni.”

Dengan cepat Rey membaca baris demi baris. “Sungguh kau ingin datang ke sana?”

Amara mengangguk. “Aku bisa mengajak siapapun, tapi kupikir, sampai kapan kita akan membohongi diri? Jika pada akhirnya mereka mencela kita, biarkan saja!”

Senyum Rey mengembang. “Ya, atas nama Tuhan dan kasih sayang...”

***

Semua mata terbelalak. Tak ada seorangpun yang memperhatikan nyala kembang api begitu sejoli itu menginjakkan kaki di taman tempat berlangsungnya PENSI. Sorot mata kagum akan penampilan Amara yang menakjubkan dan rupawan segera tergusur saat menatap siapa sosok yang merengkuh pundaknya mesra.

“Amara! Apa ini serius, kau tak sedang menipu kami kan?” Tanya beberapa lelaki pemuja Amara, jelas-jelas kecewa dan marah.

Amara mengangguk pasti. Dan segera saja semua geleng-geleng kepala.

“Kau cantik, jenius, kaya, santun, tapi kenapa kau mencintai…Ah, tak mungkin kau seperti ini Amara, kami memujamu!!” Sambung yang lain.

Amara tersenyum. “Terimakasih, tapi aku hanya mencintai dia...”

Segerombolan perempuan berjalan mendekati Amara. Melempar pandangan jijik. “Lihat!! Lihat semuanya!! Amara yang nyaris tanpa cela ini ternyata bukan hanya tuna asmara. Dia juga tuna netra, karena dia tak mampu membedakan mana pria dan mana wanita. Tapi, lebih dari itu, dia juga tuna susila! Tak punya moral!”

“Ha..ha..ha..” Derai tawa mulai membahana. Amara menggenggam lengan sosok di sampingnya yang tampak gusar mendengar cela demi cela.

“Sudahlah Reyna..ini ujian untuk cinta kita.” Amara menghamburkan diri ke pelukan Reyna, kekasihnya. Di bawah tatapan melecehkan dan umpatan-umpatan, Amara berfikir tentang tuduhan tuna susila, apakah pergaulan bebas lebih bersusila dibanding kecintaan tulus meski dengan sesama jenis? Moral, siapakah yang berhak memonopoli standar moralitas? Kami hanya ingin jujur terhadap cinta..

Dalam hati Amara, ia masih berharap satu hal saja, semoga semua orang merestui cintanya pada Reyna, perempuan yang dicintainya...

Itu saja.


SEMESTA





Angkasa terbelah, pecah ruah-ruah

menggelembungkan pusaran hitam yang menyeringai garang

Dan sebelum bumi sempat menyalak, berontak

berkubik-kubik air telah menyembur dari angkasa

tanpa peduli bahwa pintu-pintu rumah sudah tenggelam setengah

Jangan mengeluh pada semesta

Apalagi menyumpahinya dengan tatapan sengit

Karena semesta hanya menjalankan hukum langit

Sejenak, marilah kita mencoba menjadi manusia

yang benar-benar manusia.

yang menjadikan kita bertengger di kelas teratas dalam jagad per-makhluk-an

Yakni…

Berpikir!!

Bila sungai-sungai telah disumbat rapat

dan hutan telah gundul serupa tuyul

Kenapa heran bila bah meluap?

Bila perut bumi terus menerus diobok-obok

dan pertambangan dijadikan kokain

Kenapa heran bila ia terus menggelegak

melahirkan lumpur panas, gempa bumi dan caci maki?

Angkasa juga butuh kasih sayang dan keadilan

Bukan cuma kita!