Senin, Mei 05, 2008

TUNA ASMARA




Lalu segalanya berubah kelabu. Bahkan kupu-kupu yang tiba-tiba saja hinggap di punggung tangannya tak mampu mendepak segala galau dan risau. Alisnya masih saja bertaut, sedang matanya terpaku pada secarik kertas undangan warna pink lembut yang terkapar di atas lutut. Lama, akhirnya ia hanya bisa bertopang dagu mengiringi atmosfir bumi yang membeku.

“Bahkan alam pun mampu menelisik gejolak jiwaku...” Batinnya sembari menatap arakan awan hitam yang menyeringai ganas pada sang surya.

“Ini bukan tentang kesendirian, atau kebekuan. Tapi bisakah mereka menerima kenyataan bahwa hidup senantiasa dijejali dengan keragaman dan perbedaan?” Gumamnya tanpa mempedulikan bisik-bisik -sesekali sambil ngikik- dari beberapa perempuan berusia tujuh belasan.

“Lihat Amara!! Pasti dia bingung akan pergi ke PENSI dengan siapa!” Ujar seorang dari gerombolan perempuan.

“Ya, perempuan aneh itu pasti tidak akan datang ke sana..” Sahut yang lain

“Karena ia tidak punya pacar!”

“Ya, dia kan tuna asmara!!!” Teriak yang paling jangkung diantara mereka.

“Ha..ha...ha...” Akhirnya kompak tertawa berderai-derai.

Ya, begitulah gunjingan perempuan-perempuan pada Amara. Amara membisu. Bukan karena tak mendengar kasak-kusuk itu, tapi ia lebih memilih acuh.

“Untuk apa menanggapi kata-kata sinis dari gadis-gadis ceriwis? Oh Tuhan, mereka bahkan bukan gadis! Berdasarkan gosip yang kudengar, mereka bahkan sudah tak perawan! Nah, untuk apa mereka aku dengarkan?”

Dengan langkah yang lebih riang, Amara beranjak dari bangku taman SMA 6 menuju kelas karena bel tanda istirahat telah usai tengah berdengung panjang.

***

“Kau akan pergi ke PENSI dengan siapa, Amara?” Tanya Rika.

Amara menggigit bibir sejenak. “Haruskah, dengan siapa?

“Itu aturannya. Harus datang dengan kekasih kita. Tapi, kau bisa ajak tetangga atau sepupumu.”

“Gang Ampera!!” Teriak kernet bus kota, memenggal dialog dua sahabat itu.

Rika segera berdiri dari kursi, menepuk bahu Amara lembut dan berkata. “Suatu saat kau harus berani jujur dan menjadi diri sendiri!”

Amara tersentak. Kalimat sederhana itu menelusup tajam, menyekat tenggorokan. Retinanya masih menangkap seulas senyum Rika sebelum akhirnya Rika benar-benar turun -setengah melompat- dari bis.

“Jujur pada diri sendiri? Menjadi diri sendiri?” Gumam Amara.

Otaknya melaju cepat, mencoba berontak dari keterkungkungan yang selama ini membunuh hasrat dan gairahnya. Menumpulkan harapan dan kejujurannya.

“Ya, kenapa tidak? Kenapa selama ini aku sembunyi dan lari?”

Lalu ia pun tersenyum.

Bukan pada matahari yang mulai mengendap-endap keluar dari dekapan awan.

Bukan pada lelaki tampan yang tiba-tiba duduk menggantikan posisi Rika di sebelah kanan.

Bukan pada apa-apa. Atau siapa-siapa.

Cukup untuk dirinya sendiri.

***

Sengaja, ia matikan televisi. Padahal film kartun kesukaannya, Doraemon, tengah diputar. Acapkali, saat ia menonton film legendaris itu, ia berharap dapat meminjam kantong ajaib barang sehari dua hari. Jika itu tak mungkin, ya satu-dua jam lah! Kalau masih tak bisa, satu-dua menit cukup baginya. Yang diinginkan Amara tak banyak. Ia takkan meminta rangking satu, karena ia jawara kelas sejak SD dulu. Pun bukan wajah dan tubuh menarik, karena siapapun pasti sependapat bahwa Amara punya keduanya. Atau uang melimpah? Tentu tidak. Ia dilahirkan dari trah bangsawan sekaligus jutawan. Kalau toh ia suka naik bis ketimbang marcedez, tak lebih karena ia sosok yang luar biasa sederhana, entah dalam sikap, gaya hidup maupun bertutur kata. Ia pun menjadi pribadi yang dipuja banyak lelaki dan sering membuat perempuan lain iri hati.

Amara hanya ingin satu hal. Satu saja.

Distarternya motor kencang-kencang. Tak lama kemudian, motor warna merah menyalanya sudah terparkir di sebuah rumah mungil bergaya eropa.

“Honey...kenapa tak memberitahu dulu? Aku kan bisa menyiapkan makan atau apa-lah untuk menyambutmu..” Ujar pemilik rumah usai memeluk erat Amara.

Amara memberikan kecupan hangat di pipi lawan bicaranya. “Tak usah repot Rey. Aku kesini karena ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”

Rey, sang pemilik rumah, segera memeluk pinggang Amara dan menuntunnya duduk di sofa. “Ada apa sebenarnya? Sepertinya sangat serius!”

Amara merogoh tas, mengeluarkan kertas warna pink. “Undangan Pentas Seni.”

Dengan cepat Rey membaca baris demi baris. “Sungguh kau ingin datang ke sana?”

Amara mengangguk. “Aku bisa mengajak siapapun, tapi kupikir, sampai kapan kita akan membohongi diri? Jika pada akhirnya mereka mencela kita, biarkan saja!”

Senyum Rey mengembang. “Ya, atas nama Tuhan dan kasih sayang...”

***

Semua mata terbelalak. Tak ada seorangpun yang memperhatikan nyala kembang api begitu sejoli itu menginjakkan kaki di taman tempat berlangsungnya PENSI. Sorot mata kagum akan penampilan Amara yang menakjubkan dan rupawan segera tergusur saat menatap siapa sosok yang merengkuh pundaknya mesra.

“Amara! Apa ini serius, kau tak sedang menipu kami kan?” Tanya beberapa lelaki pemuja Amara, jelas-jelas kecewa dan marah.

Amara mengangguk pasti. Dan segera saja semua geleng-geleng kepala.

“Kau cantik, jenius, kaya, santun, tapi kenapa kau mencintai…Ah, tak mungkin kau seperti ini Amara, kami memujamu!!” Sambung yang lain.

Amara tersenyum. “Terimakasih, tapi aku hanya mencintai dia...”

Segerombolan perempuan berjalan mendekati Amara. Melempar pandangan jijik. “Lihat!! Lihat semuanya!! Amara yang nyaris tanpa cela ini ternyata bukan hanya tuna asmara. Dia juga tuna netra, karena dia tak mampu membedakan mana pria dan mana wanita. Tapi, lebih dari itu, dia juga tuna susila! Tak punya moral!”

“Ha..ha..ha..” Derai tawa mulai membahana. Amara menggenggam lengan sosok di sampingnya yang tampak gusar mendengar cela demi cela.

“Sudahlah Reyna..ini ujian untuk cinta kita.” Amara menghamburkan diri ke pelukan Reyna, kekasihnya. Di bawah tatapan melecehkan dan umpatan-umpatan, Amara berfikir tentang tuduhan tuna susila, apakah pergaulan bebas lebih bersusila dibanding kecintaan tulus meski dengan sesama jenis? Moral, siapakah yang berhak memonopoli standar moralitas? Kami hanya ingin jujur terhadap cinta..

Dalam hati Amara, ia masih berharap satu hal saja, semoga semua orang merestui cintanya pada Reyna, perempuan yang dicintainya...

Itu saja.


Tidak ada komentar: