Minggu, Mei 04, 2008

FEMINISME, REKONSTRUKSI NALAR DAN KEBANGKITAN HOLISTIS

FEMINISME, REKONSTRUKSI NALAR DAN KEBANGKITAN HOLISTIS

By: Nisa’ul Kamilah Chisni*

A. Historisitas Feminisme Global

Sejatinya, Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai Universal Sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.

Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai “Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis.

Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan —seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing tahun 1995— maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan.

Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi ke dalam Dunia Islam. Maka tersohorlah kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatima Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin, Wardah Hafizah, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di Indonesia khususnya dapat disebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan dan sebagainya.

B. Realitas Gerakan Perempuan di Indonesia

* Disampaikan dalam Diskusi GREGET, Yogyakarta, 29 Desember 2007

Dalam berbagai diskusi sejarah gerakan perempuan Indonesia, biasanya menyandarkan diri pada tokoh Kartini, yang disebut-sebut sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Walaupun kepahlawanan yang dilabelkan kepada Kartini pantas untuk diragukan. Bukan saja ia tidak melakukan apa pun kecuali hanya imajinasi semata-mata, tetapi ia sendiri bersedia menjadi istri dari laki-laki yang sudah beristri. Menguatnya kajian gerakan perempuan bersandar pada Kartini, setidaknya karena ia meninggalkan written text, yaitu surat-surat yang ditulisnya dan lalu diterbitkan dalam sebuah buku yang amat terkenal, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Berkaitan dengan buku di atas, tidak sedikit pula para ahli yang menyangsikan keasliannya sebagai karya asli Kartini.

Kajian lain justru menunjukkan, tokoh seperti Dewi Sartika, sebenarnya jauh lebih jelas melakukan tindakan-tindakan aksi ketimbang Kartini yang tidak pernah melakukan apa-apa.

Dewi Sartika mendirikan sekolah pertamanya pada tahun 1904 dengan nama Sekolah Istri dan selanjutnya diubah menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Hingga tahun 1912, Dewi Sartika telah mendirikan 9 sekolah, jumlah yang mencapai 50% dari keseluruhan sekolah di Pasundan.

Kecurigaan sebagian peneliti terhadap written text Kartini itu, setidaknya bersandar pada kemungkinan adanya keinginan Belanda untuk membuktikan keberhasilan politik etis, dengan dibukanya peluang-peluang bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, semangat pendidikan di Indonesia akibat politik etis—sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, tetapi lebih untuk menunjang terselenggaranya pemerintah Hindia Belanda. Mereka yang telah mendapatkan pendidikan dimaksudkan agar bisa dapat bekerja di kantor-kantor pemerintahan Belanda. Sudah pasti, kebanyakan hanya menduduki jabatan pegawai rendahan. Tetapi, menurut Sukanti Suryochondro, setidak-tidaknya, meski tidak secara langsung, kebijakan politik etis telah membangkitkan semangat di kalangan kaum perempuan untuk bergerak dan berjuang mendapatkan persamaan hak pendidikan bagi perempuan. Buah dari semangat ini, berdirilah, salah satu organisasi perempuan yang kelahirannya memang mendapat dukungan dari Boedi Oetomo (organisasi laki-laki). Dalam perkembangannya, Poetri Mardika pernah mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal pada tahun 1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.

Setelah lahirnya Poetri Mardika (1912), banyak perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri. Sebut saja misalnya, Pa­wiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Ma­na­do, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Su­ra­baya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryo­chondro: 1995). Dalam catatan sejarah, hampir setiap organisasi perempuan ini, menerbitkan majalah mereka sendiri sebagai media untuk membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka terkomunikasikan ke dalam masyarakat luas.

Gerakan nasionalisme juga berkobar di kalangan organisasi perempuan, dan pada tang­gal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres ini melahir­kan semacam federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun 1929, setahun setelah terbentuknya, diganti menjadi Peri­kat­an Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), pendidikan dan perlindungan anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Perhatian ini meluas, misalnya, pada tahun 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan—salah satunya rapat umum untuk perempuan buruh batik di Lasem Jawa Tengah, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak.

Perkembangan gerakan perempuan semakin maju, ketika dalam Kongres Perempuan II, Maret 1932, isu nasionalisme dan politik muncul, selain soal perdagangan peremuan, hak perempuan dan penelitian keadaan sanitasi di kampung serta tingginya angka kematian bayi. Ki Hajar Dewantara, dalam pidatonya mengatakan, sangat terkesan dengan perjuangan feminis di Turki, Cina, Persia, dan India, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi suksesnya perjuangan nasional di negara mereka. Dua tahun sebelum Kongres II ini, pada tahun 1930, Suwarni Pringgodigdo, mendirikan organisasi perempuan yang aktif dalam perjuangan politik, yaitu Istri Sedar di Bandung dan menerbitkan jurnal Sedar. Perjuangan lain, adalah upaya gerakan perempuan untuk menentang poligami yang dipandang merugikan perempuan. Pada tahun yang sama dengan berdirinya Istri Sedar tahun 1930-an, para aktivis perempuan dalam Sarekat Rakyat mengorganisasikan demonstrasi politik untuk buruh perempuan dengan tuntutan kenaikan upah, kesejahteraan buruh dan keselamatan kerja. Salah satu aksi yang paling mencolok, sebenarnya justru demonstrasi yang dilakukan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926 di Semarang yang menuntut perbaikan kondisi kerja bagi buruh perempuan, dengan memakai caping kropak. Selama pembrontakan komunis pada tahun 1926 banyak perempuan ditahan bukan hanya karena mereka membantu suami mereka, tetapi juga karena aktivitas mereka sendiri. Bersama dengan laki-laki, banyak perempuan yang diasingkan ke Boven Digul, sebuah kamp konsentrasi Belanda di Irian Jaya. Sukaesih dari Jawa Barat, dan Munasiah dari Jawa Tengah termasuk di antara perempuan-perempuan tersebut. Pada Kongres Perempuan III, setelah melakukan pembubaran PPII, mulai dimunculkan isu tentang hak suara perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan S.K. Trimurti menjadi menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen.

C. Rekonstruksi Nalar dan Kebangkitan Holistis

Berdasar realitas di atas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa gerakan perempuan sudah mencuat sejak zaman beheula. Tapi, benarkah ‘angin’ kesetaraan ini juga berhembus dalam setiap pikiran kaum perempuan Indonesia? Tentu saja jawabannya adalah TIDAK. Kenyataannya banyak perempuan yang merasa cukup dengan peran-peran domestik, dapur, sumur, kasur atau masak, macak, manak. Kesalahan yang terjadi dalam konteks ini tentu saja adalah dalam mainstrem perempuan yang diakui atau tidak telah terkonstruk oleh budaya, pendidikan bahkan dalam tataran kebijakan politis. Salah satu aliran dalam Feminisme, yakni Feminisme Poskolonial yang intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan” inilah yang mengakibatkan adanya ‘kolonialisme’ pada perempuan.

Kesadaran diri yang rendah akan kebutuhan eksistensi diri pada mayoritas perempuan Indonesia telah mendorong kejumudan peran perempuan hanya pada wilayah domestik. Ini bukan berarti bahwa peran domestik adalah hal yang inferior dan tidak urgen. Melainkan, perlunya satu nalar baru pada setiap perempuan bahwa mereka sama sekali bukan makhluk yang ditakdirkan HANYA untuk urusan-urusan rumah tangga belaka. Penanaman satu nalar kesetaraan akan berimplikasi pada tingginya kesadaran perempuan akan harkat, martabat, potensi dan sekaligus kekurangan mereka.

Rekonstruksi nalar, menurut hemat penulis, adalah satu hal mendasar yang harus dilakukan oleh pengusung feminis bila menginginkan setiap perempuan di belahan bumi manapun mampu menyadari tentang ke-diri-an perempuan. Tanpa satu kontruksi yang mencerahkan nalar, maka selamanya perempuan akan terkungkung dalam sikap inferior, merasa tidak berdaya, merasa tidak bisa menyaingi peran laki-laki dan sebagainya. Pembaharuan gerakan perempuan bisa dilakukan melalui beragam cara tergantung pada status sosial, latar belakang pendidikan, kondisi lingkungan ataupun tradisi dimana perempuan tersebut tinggal dan berkiprah. Sebagai contoh, dalam tradisi pedesaan, perempuan di daerah agraris tidak bisa dicekoki dengan nalar yang mengetengahkan isu mengenai perempuan yang semestinya melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan daerah agraris yang minim pendidikan masih mengandalkan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga. Rekonstruksi nalar yang bisa diterapkan pada perempuan agraris semisal dengan memberikan pengarahan bahwa mereka juga berhak mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki. Apabila pemahaman ini sudah internalis, maka kemungkinan besar perempuan desa akan terberdayakan dan secara bertahap akan menjadi kaum terdidik yang seiring dengan kualitas pendidikan yang membaik akan membentuk pola pikir dan tindak laku yang lebih konstruktif.

Jika ada 30% saja perempuan di dunia ini terberdayakan dan memiliki kualitas yang mumpuni, penulis yakin perempuan-perempuan ini akan mampu mengendalikan dunia. Namun, pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Oleh karenanya, kebangkitan holistis (menyeluruh) menjadi satu agenda wajib bagi setiap pengusung feminisme dan gerakan perempuan. Kebangkitan holistis pada gerakan perempuan tidak boleh hanya berkutat pada diskursus-diskursus yang sarat bahasa-bahasa ilmiah saja. Namun lebih tepat jika perempuan-perempuan aktifis melakukan gerakan yang lebih membumi semisal membiayai pendidikan perempuan tertinggal, mengadakan penyuluhan gender di daerah-daerah serta pendampingan yang serius pada setiap kasus KDRT yang menimpa perempuan. Belum lagi kasus trafficking, kekerasan pada TKW, dan eksploitasi perempuan yang belum kunjung tuntas.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita –yang notabenenya adalah aktifis perempuan- sudah melakukan gerakan yang mampu membangkitkan semangat pembaharuan dan semangat kemajuan pada perempuan-perempuan lain di sekitar kita?

Atau jangan-jangan, kita masih menjadi oknum yang tertindas tanpa kita sadari?

SAHABAT, Diperlukan sebuah keberanian dan potensi besar untuk menggugah keyakinan bahwa kita –kaum perempuan yang terdidik- adalah ujung tombak dari perjuangan menuju kebangkitan holistis. Ingat, perempuan bukan makhluk lemah, sub ordinat, inferior dan tak berdaya. Bangkitkan semangat, pompa keberanian, galilah segala potensi, dan sandarkan segalanya atas nama Tuhan, maka tak lama kemudian kita –atas izin Nya- akan menjadi aktor dalam mengawal perubahan ini!

Wallohu A’lam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Maju terus perempuan Indonesia, jangan biarkan roda patriarkhi feodal dan mesin-mesin kapitalisme menggilas perjuanganmu..

Selamat hari ibu dan hari pergerakan perempuan Indonesia, nasib bangsa kita ada di tangan ibu pertiwi..
Selamat berjuang sahabat! dzikir, fikr, amal sholeh