Minggu, Mei 04, 2008

t®ïĹœбτ “NING AISYA” d@£ÀM !kђTΊǻГ



  1. “Ning Aisya” dalam perspektif penulis

“Trilogi Ning Aisya” merupakan tiga sekuel bersambung yang menceritakan tentang penggalan kisah seorang putri kyai bernama Aisya Fahma Syarifa. “Ning Aisya” pada awalnya bukan ditulis untuk dikonsumsi publik. Ia hanya “pelarian” disebabkan kejenuhan mendalam saat saya menjalani PKL. Bahkan ketika iseng saya kirimkan ke LKiS, cerita mengenai Aisya ini masih “bersambung” (namanya juga iseng!), Ternyata keisengan itu mendapat respon positif bahkan mereka rela menunggu kelanjutan cerita sembari meminta saya untuk memangkas beberapa kisah karena cerita saya melampaui batas maksimal Penerbit MATAPENA (salah satu divisi LKiS). Akhirnya, saya putuskan untuk menjadikannya Trilogi. Dan proses revisi serta penggarapan sekuel 3 berlangsung kurang dari 10 hari.

Saya bersyukur, setelah saya kirimkan kembali (lewat email), mereka telaten mengedit tulisan dan memberikan saran-saran revisi yang memang saya butuhkan. Bagaimanapun -dikarenakan pengalaman saya di berbagai buletin kampus- saya lebih terbiasa menulis non fiksi ketimbang fiksi. Adalah sahabat saya, Hafidz Aziz yang pertama-tama meyakinkan saya bahwa saya bisa. Dan tentu saja, saya sangat berterimakasih untuk itu.

Tulisan ini menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal. Ais, Vidhis, Abah, Rina dan Regi (Regulus) merupakan tokoh sentral yang membangun Trilogi ini. Adapun plot secara kronologis, menggunakan plot cyclic (memutar). Dan sebagai koreksi diri, bentuk lay out buku ini kurang memberikan perbedaan yang mencolok antara setting waktu masa kini (Aisya kecelakaan pada 17 Agustus 2006 dan sembuh saat Ramadhan 2007) dan masa lalu (dari kelas 6 SD sampai 15 Agustus 2006), sehingga sedikit membingungkan pembaca. Perbedaannya hanya, ketika bicara masa kini (biasanya di awal dan akhir cerita) penamaan BAB nya tidak menggunakan identitas waktu (Titik Balik; Regulus; A Miracle; Amnesia; Selaksa Asa; Erlangga). Sedangkan ketika bercerita mengenai masa lampau, menggunakan identitas waktu (Agustus, penuh Haru; 1998, Saat Bunga Daisy Mulai Bermekaran; Agustus, Suka-Duka). Pada beberapa ketikan juga saya temukan kesalahan yang merupakan bukti bahwa saya maupun editor hanyalah manusia biasa.

Ya, ini merupakan tiga novel pertama saya yang notabenenya tak pernah mengenyam pendidikan sastra sehingga dengan segenap kerendahan hati dan permohonan koreksi, saya persembahkan ikhtisar Trilogi Ning Aisya ini kepada pembaca.

  1. Sekuel 1: Ning Aisya, Just Call Me, AURORA

Kisah ini dimulai saat semua orang sedang menunggu Aisya pulih dari pingsannya. Sayang, kabar mengenai sadarnya Ais direndengi dengan kenyataan bahwa dia amnesia. Semua orang terpukul, tak terkecuali Regulus Ahmad Al-Faqih yang akrab dipanggil Regi (sama dengan nama panggilan almarhum Regi teman SD Aisya). Demi membantu pujaan hatinya, Regi memberikan sebuah diary super tebal yang dibawanya dari Malang untuk membantu membangkitkan ingatan Ais. Bagaimanapun, usaha Regi masuk akal, karena Ais menulis setiap penggal kejadian dalam hidupnya di diary tersebut. Dan kisah yang bergulir pada bab selanjutnya, adalah hasil pembacaan Ais terhadap masa lalunya di diary tersebut. Yang dimaksud Aurora adalah Dewi Senja.

Aisya, terlahir dari buah cinta Kyai Syarif bin Kyai Dahlan dengan Bu Nyai Alia yang bertempat tinggal di Pondok Faradisassabil Kediri. Bersama ketujuh kakaknya, Ani, Hamid, Iqbal, Rifa’I, Lathif, Chalim dan Vidhis, Gadis berbintang Leo yang terlahir pada 20 Agustus ini bersahabat dengan Fifi yang imut, Putri yang jelita, Eka nan tomboy, si tangguh Jaya dan Regi (Regisiswanto) sang penghibur yang amat menyukai senja. Konflik dalam sekuel ini dimulai ketika pada hari ultah Ais yang ke 11, ia menerima kabar bahwa Regi mengalami kecelakaan dan abahnya melarang Ais untuk menjenguk Regi dengan alasan “sudah jam 8 malam, ini terlalu malam” meski waktu itu ada mobil, supir dan santri yang siap mengantar Ais ke RS. Karena dilarang keras, Ais hanya bisa mendekam dalam kamar sembari menanti datangnya pagi. Naas, pagi hari yang direncanakannya untuk menjenguk Regi berubah menjadi pagi paling suram di sepanjang kehidupannya kelak. Ia harus menerima kenyataan bahwa nyawa Regi tak tertolong. Dan semakin hancurlah hatinya manakala mengetahui bahwa perjalanan 10 Km yang ditempuh Regi dengan memakai sepeda pancal hanyalah untuk memberikan kado ulang tahun Ais yang telah dibeli dari hasil keringatnya sendiri.Dan pertengkaran pertamanya dengan abah terjadi. Ais merasa, andai malam itu dia ke RS, ia bisa menolong Regi dengan mendonorkan darah O nya kepada Regi yang memerlukan transfusi darah. Dalam pandangan Ais, abah adalah sosok tertuduh yang sulit dimaafkan.

Pada bagian selanjutnya, menceritakan segala kejadian saat ia duduk di bangku MTs. Kenakalannya, kecuekannya, kecerdasannya dan kekerasan hatinya semakin mengidentikkannya dengan Vidhis, kakak ketujuhnya. Ais menjuarai berbagai lomba dan eksis di dunia tulis menulis (ia menggunakan nama pena AURORA dalam setiap tulisannya lantaran kenangannya yang mendalam terhadap almarhum Regi), ia membuat peraturan keras mengenai ghosob, tawuran dengan anak kampung demi membela hak santrinya, hingga berinisiatif menyapu halaman pondok putra dan memakai baju kuning-kuning lantaran merasa bersalah telah menjadi provokator tawuran. Usai LPJ nya, sang mantan ketua OSIS Putri ini menggilas aspal Kediri bersama Vidhis, melakukan road race, bertemu dengan orang-orang nyentrik yang jenius, menjajal hingar bingar klub malam hanya demi menuntaskan diskusi mereka mengenai holisitas berpikir, hingga sebuah kecelakaan pada suatu ajang balapan membuat Abah sadar bahwa Vidhis yang notabenenya adalah imam masjid bersuara merdu, berotak cemerlang, fasih membaca kitab kuning, dicintai masyarakat tapi juga berambut gondrong, aktifis Mapala, taekwondo dan road race ini benar-benar mempengaruhi pola pikir dan tindak laku Ais.

Bagian akhir sekuel ini ditutup dengan ‘kembali ke realitas masa kini’, yakni ketika Vidhis menengok Ais di kamarnya, Ia melihat adiknya terlelap dan di sampingnya tersembul sebuah diary dengan pembatas buku (berarti Ais membacanya sampai pada bab itu). Dan betapa terkejutnya Vidhis saat mendapati tulisan Ais yang diberi judul besar “AIS TERLIBAT KASUS PENCURIAN!”

  1. Sekuel 2: Ning Aisya, Detektif Amatir

Sekuel 2 ini merupakan dibuka dengan mimpi buruk Ais yang membuatnya begitu emosional saat menyadari bahwa dirinya harus mengikuti hipnoterapi. Sekuel ini membawa pembaca (flash back) pada petualangan Ais dan Rina –santri yang disuruh Abah untuk mengawasi Ais- saat dipaksa mondok oleh Abahnya di PP. Al Hijroh Bantul Jogjakarta pimpinan Kiai Zehen. Petualangan ini tentu saja, berdasarkan apa yang dibaca Aisya di diary-nya.

Pangkal Agustus 2001, Ais dan Rina terlibat dalam pembongkaran kasus pacaran yang dilakukan oleh Shinta sang kordinator Sie Keamanan Pondok. Mereka tak terima dengan perlakuan Shinta yang semena-mena terhadap santri baru. Suatu pagi, mereka mencuri dengar pembicaraan Shinta dan kekasihnya, Ikang yang membuat janji di Malioboro. Tak pelak, ini membuat Ais dan Rina berupaya menyelidiki hingga ke Malioboro dan Pasar Beringharjo. Mereka juga bersekongkol membuat kegaduahn dengan menyelinap ke kamar Keamanan dan Ais berhasil menyita surat-surat Ikang sebagai bukti bahwa Keamanan terkadang justru perlu diamankan. Dengan segala bukti yang terkumpul, skak mat, Shinta mendapatkan ganjaran atas perbuatannya.

Gaya sok detektif ala Aisya berlanjut saat bulan Oktober di tahun yang sama ia dan Rina melihat aksi pencurian yang dilakukan Laras, sang abdi ndalem. Laras berhasil membuktikan bahwa dia melakukan semua ini karena terpaksa, sehingga Ais berbaik hati tidak melaporkan bahkan mengganti semua uang yang pernah dicuri Laras dan menyerahkannya pada Titik, sang ketua pondok. Keganjilan mengenai dkembalikannya uang yang dicuri tanpa kejelasan siapa yang mencuri memantik kecurigaan beberapa orang yang membenci Ais hingga ia pun difitnah, diadili dan dihukum, Meski demikian, Ais tak pernah mau membongkar aksi Laras. Namun, kuasa Tuhan bermain di sini, Laras nekat mengaku karena tak tahan akan hukuman yang diterima Ais dan Rina, padahal keduanya tak melakukan kesalahan apapun. Dan bukti-bukti yang kemudian muncul, semakin melemahkan tuduhan terhadap Ais dan justru mengungkap siapa dalang di balik pemfitnahan itu adalah Karen, sepupu Shinta. Hal ini membuat Ais miris, betapa, di paruh pertama kehadirannya di pondok itu telah menyeret tiga orang (Shinta, Karen dan tentu saja Laras) keluar dari pondok salaf tersebut. Di penghujung 2001, Ais berupaya menanggulangi kasus lesbian di Al Hijroh. Februari 2002, Ais mengusulkan perubahan besar-besaran pada struktur dan pola pengajaran di Al Hijroh yang ternyata direspon baik oleh para pengasuh. Pada Agustus 2002, Ais terpilih sebagai ketua pondok yang semakin melempangkan jalannya untuk membuat gebrakan-gebrakan baru dalam setiap agenda kepengurusannya. Meski, tak lama kemudian, sosok Ning Zulaikha muncul dan perseteruan akibat sikap hipokrit Zulaikha menuntut Ais -sekali lagi- menunjukkan taringnya

Sekuel ini ditutup dengan munculnya Erlangga (Elang) yang membawakan sebuah album berisi foto-foto mesranya bersama Ais. Siapa sebenarnya Elang? Jawaban segala masalah dan awal dari segala masalah akan terjawab di sekuel 3.

  1. Sekuel 3: Ning Aisya, Soulmate 4 ever

Sekuel ini diawali dengan keputusan dokter untuk melakukan operasi pengangkatan timbunan darah. Alhamdulillah, operasi itu berhasil dan Ais kembali mengisi hari-harinya dengan membaca diary yang kini telah sampai pada fase saat ia menjalani muwadda’ah (perpisahan).

Ais sangat terkejut saat mendengar cerita Chalim (kakak keenamnya) bahwa Vidhis kabur dari rumah karena ia jatuh cinta pada Rose, mantan pelacur yang dikenalnya sewaktu kelas 3 MTs. Ais yang seyogyanya mempersiapkan diri mengikuti SPMB itu malah sibuk mencari kakaknya. Setelah ditelusuri, ternyata Rose memang tak lagi menjadi pelacur. Bahkan ia sudah berjilbab dan menjadi guru ngaji. Yang membuat Ais miris, Rose meninggal dalam sebuah kecelakaan akibat menolong murid TPQ nya. Kejadian menyedihkan ini direndengi dengan sakitnya sang kakek, Kyai Dahlan dan terpukulnya abah yang menyebabkan beliaupun dirawat di RS. Namun, kejadian beruntun ini membuat Abah Syarif sadar, bahwa dirinya terlampau otoriter.

Fase selanjutnya dilalui Ais saat ia menjadi pembangkang dalam OSPEK yang diselenggarakan kampusnya. Di sana, ia bertemu Regulus (yang juga dipanggil Regi dan ini mengingatkan Ais pada Regi kecilnya) sang ketua panitia OSPEK yang begitu santun, kalem dan agamis. Keduanya menjadi dekat karena mereka sama-sama aktifis dan mengajar di TPQ yang sama. Regi mengajari Ais banyak hal dan semua ini membuatnya jatuh cinta pada sosok Aisya. Sayang, keterpurukan ekonomi dan sakitnya sang ibu membuatnya harus cuti kuliah selama 1 tahun. Untungnya, ia sempat mengaku pada Ais mengenai perasaannya meski akhirnya ditolak oleh Ais. Sepeninggal Regi, Ais bertemu dengan Elang yang tampan. Mereka akhirnya jadian, dan Ais mulai menikmati ’dunia baru’nya. Sebagai aktifis dan orator, dia sangat disegani. Sebagai ustadzah dan perempuan yang suka membantu, ia amat disukai. Dan sebagai Aisya, ia dicintai banyak lelaki. Segalanya menjadikan Aisya berada di dunia yang kompleks, yang tidak hanya dilaluinya dengan jubah putih terkadang juga abu-abu. Hingga kematian kedua saudaranya, Iqbal dan Lathif, membuatnya sadar dan segera memutuskan hubungannya dengan Elang. Di rumahnya, ia bertemu lagi dengan Regi yang terhenyak mendengar pengakuan Ais mengenai banyak hal.

Pada 15 Agustus 2006, Ais menulis di diary nya mengenai makna kemerdekaan. Esoknya, ia pulang ke kediri agar bisa merayakan 17 Agustus di Masjid Agung bersama seluruh keluarganya –kecuali Vidhis yang sedang mengisi acara di Jakarta- dan meninggalkan diary nya di kos. Pada hari kemerdekaan itulah, tanpa diduga sang ummi ketinggalan obat yang harus segera diminum. Ais menawarkan diri untuk mecari apotik dan ditemani oleh Rifa’i yang tambun. Ais tak sabar menunggu Rifa’i dan dengan semangat yang berlebihan, ia berlari menembus lautan manusia dan jalanan yang padat kendaraan. Lalu...kecelakaan itu terjadi. Ais bersimbah darah, ia lalu mengalami amnesia. Inilah yang membuat Ummi selalu merasa bersalah.

Di akhir cerita, Elang dan Regi bekerjasama mengumpulkan semua teman Ais mulai dari masa kecilnya. Ais yang sudah berangsur-angsur membaik daya ingatnya (sudah setahun lebih sejak ia mengalami kecelakaan itu) harus kembali menginap di RS. Dan..keajaiban terjadi! Segala ikhtiar pengobatan dan terapi yang beraneka ragam setahun belakangan ini membuahkan hasil. Ais bisa terbebas dari amnesianya!

Selanjutnya, ia dihadapkan pada pilihan, Regi atau Elang kah yang akan dipilihnya sebagai pendamping hidup? Jawabannya bisa dibaca di novelnya. Ok!!!

  1. Penutup

Novel ini pada dasarnya adalah novel yang banyak mengkritik tradisi pesantren dan kejumudan yang kadang melingkupi alumni pesantren. Atas dasar itulah, saya menulis trilogi ini. Sungguh, saya mengharapkan ada aliran kebaikan dan perbaikan setelah membaca karya ini.

Semoga ada manfaat untuk semuanya..

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Subhanalloh, Mila seneng banget denger sampeyan dah sukses nerbitin novel. Penasaran nich sama tuch novel...

Sukses untuk study dan karir ya:)

falicalacivita mengatakan...

Betway Casino App & Online - Mapyro
If 양산 출장마사지 you like online betting, 서귀포 출장안마 there is more 목포 출장마사지 to bet on 광주광역 출장마사지 here than the bookmaker offers you. For more information on Betway Sportsbook, head to our Betway review and 용인 출장마사지