Selasa, Mei 06, 2008

PAUD DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF


    Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
dijelaskan dalam UU No 20 tahun 2003
tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 28.
Dalam pasal 28 dijelaskan bahwa yang
dimaksud PAUD adalah pendidikan sebelum
jenjang SD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, non formal dan informal.
PAUD jalur formal berupa Taman Kanak-kanak (TK)
Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Sedangkan PAUD non formal bentuknya adalah Kelompok Bermain
(KB),Taman Penitipan Anak (TPA) atau bentuk lain yang
sederajat. Dalam Pasal 1 ayat 14 :
Pendidikan usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada
anak yang sejak lahir sampai dengan usia enam tahun

Sedangkan menurut Seksi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Inklusif Divisi Pendidikan Dasar-Sektor Pendidikan UNESCO menyatakan bahwa yang dimaksud PAUD adalah berbagai macam jenis pendidikan baik formal, informal maupun non formal untuk anak usia 0-6 tahun.

Jadi, yang dimaksud PAUD bukanlah suatu jenis pendidikan tertentu sebelum TK melainkan kategorisasi jenjang pendidikan berdasar kisaran umur. Kisaran umur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah anak usia 0-6 tahun sesuai dengan yang termaktub dalam pasal 1 ayat 14.

PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan: daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi dan sosial dengan metode bermain dan hal-hal lain yang menyenangkan serta lebih mementingkan proses dibanding hasil sehingga tidak terlalu memaksakan kepada si anak untuk menguasai ini dan itu.

Situs resmi BKKBN memberitakan bahwa pada 2006, PAUD memperoleh anggaran Rp 135 miliar ditambah Rp 9 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Menurut Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidikan Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional (Dirjen PLS-Depdiknas), Dr Gutama, jumlah tersebut masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan peningkatan akses PAUD secara maksimal. Pada 2007, sudah dipastikan PAUD akan memperoleh anggaran Rp 199 miliar. Dana sebesar itu, kata dia, akan dipergunakan untuk sosialisasi serta peningkatan dana rintisan dan kelembagaan.

Merespon dari sikap pemerintah yang antusias terhadap PAUD baik formal maupun non formal, perlu kiranya untuk menganalisis kebijakan PAUD ini dari berbagai perspektif.

  1. TEKS YURIDIS

Secara yuridis, bergulirnya tema PAUD dalam UU Sisdiknas menuai kontroversi mengenai definisi PAUD terkait dengan kata-kata yang bermakna “PAUD bisa diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal.”

   Pasal yang dirujuk dalam upaya untuk review
yuridis ini adalah pasal 28 ayat 2 yang berbunyi
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselengga
rakan melalui jalur pendidikan formal,
non formal,
dan/atau informal”.
   Ayat ini dapat direvisi dengan menghilangkan
kata-kata
“pendidikan formal” dengan pertimbangan yuridis:
 1. Pasal 1 ayat 11 : Pendidikan formal
adalah jalur pendidikan yang terstruktur
dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi.
2. Pasal 1 ayat 12 : Pendidikan nonformal adalah
jalur pendidikan di luar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang.
3. Pasal 14 : Jenjang pendidikan formal terdiri
atas pendidikan dasar, menengah, dan
pendidikan tinggi.
4. Pasal 17 ayat 2 : Pendidikan dasar berbentuk
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat.
5. Pasal 26 ayat 3 : Pendidikan nonformal
meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, dst….
      
Pemaknaan kata “pendidikan formal” menjadi ambigu dan
kontradiktif manakala pasal 28 ayat 2 dibenturkan
dengan makna kata “pendidikan formal” yang dimaksud
dalam pasal 1 ayat 11 dan seterusnya di atas.
Dan sebagai akibat perubahan tersebut, maka
pasal 28 ayat (3) yang berbunyi :
Pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk
Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA),
atau bentuk lain yang sederajat”
perlu dihilangkan

  1. PSIKOLOGIS

Secara psikologis, kebutuhan akan PAUD merupakan keniscayaan. Dalam Psikoanalisa Freud dijelaskan bahwa; pada usia 3-6 tahun, manusia mengalami perkembangan emosional yang sangat pesat. Segala kejadian, pengetahuan dan gejolak emosional pada rentang usia ini akan sangat berpengaruh pada rentang usia berikutnya. Bahkan, dikatakan Freud, sifat dan agresifitas seseorang di masa dewasa dapat dilihat ketika ia berusia 3-5 tahun.

Namun, hal yang meresahkan dari maraknya orang tua yang menitipkan anaknya ke PAUD adalah renggangnya hubungan psikologis antara anak dengan orang tua. Bagaimanapun, hingga usia 6 tahun, seorang anak masih sangat tergantung pada orang lain. Minimnya kualitas dan kuantitas pertemuan dengan keluarga sedikit banyak akan berpengaruh pada kedekatan emosional diantara anak dengan orang tuanya.

Selain itu, anak usia dini cenderung adoptif sehingga sangat diperlukan lingkungan yang sehat. Hal ini harus menjadi perhatian bagi keluarga maupun pengelola PAUD. Yang lebih urgen, PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan: daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi dan sosial dengan metode bermain dan hal-hal lain yang menyenangkan. Penyelenggara PAUD harus bertindak hati-hati dalam meletakkan dasar ke arah pertumbuhan tersebut agar tidak menyalahi kodrat psikis anak-anak yang lebih menyukai bermain ketimbang belajar.

  1. FISIOLOGIS

Menurut hasil penelitian di bidang neurologi, ternyata 50 persen perkembangan kapasitas intelektual anak sudah selesai pada usia empat tahun pertama, dan mencapai 80 persen pada usia delapan tahun. Penelitian lain juga membuktikan bahwa anak-anak pada usia di bawah lima tahun memiliki intelegensi laten (potential intelegence) yang luar biasa. Jadi, secara fisik, pertumbuhan pesat terjadi pada anak-anak usia dini. Berdasarkan hal inilah, PAUD bisa terus dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hal:

a. Kecerdasan tiap anak berbeda, karena itu pengajar PAUD tidak patut mengharapkan hasil yang sama pada setiap anak;

b. Ketahanan tubuh setiap anak tidak merata, dan oleh sebab itu pengajar PAUD sedianya mengetahui matriks kesehatan anak didiknya.

c. Fungsi motorik setiap anak memiliki perbedaan dalam hal pertumbuhan, kepekaan maupun kemampuannya.

  1. EKONOMI

Maraknya PAUD membawa dampak ekonomis yang cukup signifikan.

a. Manfaat ekonomis untuk masyarakat: Maraknya lembaga pendidikan akan memperbanyak peluang kerja bagi masyarakat, semisal: para sarjana pendidikan yang masih menganggur, penjual mainan, penjual makanan ringan, dan lain sebagainya

b. Manfaat ekonomis untuk pemerintah: Berkaitan dengan upaya peningkatan akses PAUD hingga ke seluruh Indonesia, Depdiknas telah melakukan satu kesepakatan berbentuk MoU yang ditandatangani langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo serta empat pimpinan organisasi wanita yakni Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), PKK, Muslimat NU dan Aisyiyah, pada akhir tahun 2005 lalu. Kemitraan yang berjejaring lewat jalur non formal ini sangat membantu pemerintah dalam merealisasikan anggaran pendidikan. Dengan mengeluarkan dana rintisan 199 miliar pada 2007, pemerintah bisa mendapatkan keuntungan dari terberdayakannya SDM dan meluasnya PAUD swadana masyarakat yang apabila dikalkulasi mencapai keuntungan materiil jangka panjang lebih dari 80%.

Namun, di balik iming-iming menggiurkan tersebut, side effect dari maraknya PAUD yang tidak tepat sasaran dan tepat guna adalah:

a. Masyarakat kelas menengah ke bawah kesulitan untuk mengakses PAUD yang berkualitas karena mahalnya biaya yang dibebankan pada orang tua.

b. Dana rintisan yang telah dikeluarkan pemerintah kadang-kadang dimanipulasi dan tidak digunakan untuk mengembangkan PAUD sehingga dana yang telah dikucurkan tidak tepat guna dan terjadi pemborosan APBN dan APBD.

  1. POLITIK

Secara politis, perhatian serius pemerintah terhadap PAUD merupakan suatu kebijakan yang populer. Usai reformasi pecah, pemerintah mati-matian berusaha mengembalikan citra baik dan wibawanya. Dan salah satu kebijakan yang dinilai populer adalah aktualisasi PAUD. Selain itu, keuntungan politis, baik yang bersifat materi (uang lelah saat rapat-rapat perencanaan kebijakan PAUD, proyekisasi yang berujung pada disunatnya dana yang dialokasikan untuk perencanaan dan pelaksanaan PAUD, dsb) maupun non materi (prestise para penggagas, jabatan dalam proyek, dsb) merupakan keuntungan politis bagi para pembuat kebijakan.

Selain keuntungan internal dalam negeri, wibawa pemerintah yang jatuh di mata internasional menjadi terangkat karena pada waktu itu UNESCO sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan mengenai pentingnya pendidikan pada usia dini. Keterlibatan dan dukungan pemerintah RI akan menaikkan bargain position nya di mata dunia internasional.

Yang kemudian menjadi problem tatkala pemerintah hanya mengedepankan keuntungan politis dan bukannya realitas empirik mengenai kondisi pendidikan Indonesia yang mengenaskan (Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan Unit Nation Development Program (UNDP) melaporkan bahwa Indonesia berada pada rangking 108 tahun 1998, rangking 109 tahun 1999, dan rangking 111 tahun 2004 dari 174 negara yang diteliti. Dan pada tahun 2005, peringkat pendidikan Indonesia masih di bawah Vietnam yang berada pada urutan yang ke 108) adalah; munculnya ketidakseriusan dalam realisasi program PAUD yang membawa dampak serius pada sektor ekonomi, sosial, dsb.

Dari sektor ekonomi, ketika pemerintah bertele-tele dalam membahas realisasi PAUD, maka banyak dana keluar sia-sia. Dan ketika kebijakan ini tidak digarap serius dan disunat hingga sekian persen, otomatis masyarakat tidak akan mampu mengakses layanan PAUD murah dan hal ini akan membawa dampak sosial yang berupa kesenjangan tajam antara kaum borjuis dan proletar. Akhirnya, program PAUD hanya menjadi proyek siluman yang tidak menyentuh pada kebutuhan masyarakat luas.

  1. SOSIAL-BUDAYA

Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan telah tumbuh. Dan hal ini merangsang tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan harus dilaksanakan sedini mungkin. Kesadaran sosial yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat global yang kompetitif ini membuat PAUD menjadi sebuah kebutuhan sosial-budaya yang tidak terelakkan.

Selain kesadaran yang telah tumbuh, kultur masyarakat Indonesia (terutama masyarakat kota kelas menengah dan menengah ke atas) telah mengalami pergeseran, yakni dari kultur masyarakat agraris (agricultural era) menjadi kultur masyarakat industri (industrial era). Pergeseran ini membawa dampak pada tingginya angka kesibukan orang tua, yang semakin menegaskan pentingnya penyelenggaraan PAUD. Selain sebagai wahana belajar, PAUD –diakui atau tidak- menjadi tempat penitipan anak akibat kesibukan orang tua yang tinggi.

Sisi buruknya, orang tua cenderung menyerahkan pendidikan anaknya secara total pada penyelenggara PAUD. Hal ini menandakan adanya pergeseran peran sosial yang utama bagi para orang tua; yakni mendidik anak. Selain itu mismatch mengenai PAUD juga sering terjadi lantaran hasil yang dicapai anak tidak sesuai dengan ekspektasi orang tua yang mengandaikan anaknya telah menguasai baca, tulis, hitung (calistung) begitu lulus PAUD. Padahal, penyelenggaran PAUD lebih berorientasi pada proses bukan hasil.

  1. FILOSOFIS

Locke berpendapat bahwa manusia terlahir seperti kertas putih yang padanya bisa dicoret gambar dan warna apapun sesuai lingkungan yang membentuknya (teori Tabularasa). Locke dalam klasifikasi konsep mengenai potensi manusia termasuk dalam kategori penggagas teori Empirisme. Empirisme mengandaikan bahwa manusia amat dipengaruhi oleh lingkungannya, sehingga pendidikan menjadi sebuah proses yang mutlak adanya. Pendidikan sendiri merupakan suatu proses yang menjadi dasar bagi pembentukan manusia yang utuh baik psikis, fisik maupun ruhaninya (berdasar asumsi filsafat PI yang membagi komponen manusia menjadi tiga bagian di atas).

Berdasar kajian filosofis di atas, maka peran PAUD menjadi lebih besar. Seorang anak, dalam filsafat empirisme, memerlukan dorongan dari luar dan tidak mungkin bisa berkembang tanpa pendidikan yang memadai. Unsur potensi bawaan dalam Empirisme bukan hal yang mempengaruhi laju kembang seorang anak. Berbeda dengan Empirisme, Nativisme yang digagas oleh JJ. Resseou meyakini bahwa yang paling mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah potensi bawaan yang terkadang genetikal. Meski demikian, bukti empiris-aksiologis menunjukkan bahwa pendidikan merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat dan dilakukan oleh manusia manapun di belahan bumi.

  1. AGAMA

Dalam agama Islam, kita mengenal konsep mengenai fitrah manusia yang masih memerlukan pendidikan terutama dari keduaorangtua si anak.

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua bapak ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”

Serta pendidikan sepanjang hayat (long live education)

“Tuntutlah ilmu dari buaian ibu hingga ke liang lahat”

Membentuk dan membina keluarga Islami merupakan tujuan luhur setiap pasangan muslim. Keluarga islami adalah model berkeluarga yang wajib diwujudkan karena berkeluarga adalah salah satu bentuk ibadah yang telah ditentukan. Jika semakin banyak keluarga yang memahami tujuan berkeluarga ini, maka diharapkan semakin mudah membentuk masyarakat Islami, karena awal dari terbentuknya masyarakat Islami adalah dari pribadi-pribadi yang lahir dari keluarga yang Islami pula. Dan dalam rangka membentuk pribadi yang Islami, haruslah dimulai dari usia sedini mungkin.

Berdasar konsep di atas, yang jadi persoalan adalah mengenai pihak yang memiliki peran paling besar dalam pendidikan anak. Tak lain tak bukan adalah keluarga. Dengan adanya PAUD, diharapkan tidak membuat para orang tua lupa akan kewajibannya ebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Bagaimanapun, meninggakan dzurriyatan dzi’aafan merupakan hal yang sangat merugi. Terbentuknya dzurriyah thayyibah memerlukan campur tangan orang tua yang shalih. Nabi telah bersabda:

“Setiap dari kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Dari berbagai perspektif di atas, kelompok kami mengambil sikap; mendukung terselenggaranya PAUD dengan beberapa kritik:

1. Perlu adanya peninjauan kembali (PK) mengenai landasan yuridis PAUD agar tidak ambigu.

2. Pendidikan terhadap anak usia dini bukan pengajaran yang menjadi tekanan. Dalam pendidikan moral, nilai agama, sosial, emosional, dan kemandirian melalui kegiatan belajar pembiasaan. Sedangkan pembentukan dan pengembangan kemampuan dasar berbahasa, kognitif, fisik, motorik, dan estetika dikemas dalam program bermain sambil belajar.

3. Tenaga pengajar dan pengelola PAUD adalah pendidik profesional yang memiliki kompetensi sosial, profesional, paedagogik dan kompetensi kepribadian yang mumpuni.

4. Kebijakan PAUD tidak dijadikan komoditas politis yang hanya berorientasi pada kepentingan segelintir orang. Pemerintah hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan sektor riil yang berguna bagi kemajuan peradaban Indonesia di masa mendatang.

5. Kesadaran mengenai urgensi pendidikan tidak hanya dimiliki oleh kelompok masyarakat kota melainkan juga menyentuh masyarakat miskin-pedesaan. Hal ini bisa diatasi dengan mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya PAUD hingga ke daerah-daerah.

6. Sosialisasi harus diimbangi dengan adanya fasilitas dan anggaran yang cukup untuk merealisasikan PAUD

7. Para orang tua, meski dengan kesibukan yang tinggi, sebisa mungkin untuk tetap meluangkan waktu bersama anak-anaknya. Bagaimanapun hebatnya pendidikan di luar rumah, apabila anak-anak merasakan keterabaian ketika ia kembali ke rumahnya, maka pendidikan pun tidak berjalan secara sempurna sehingga hasil yang diraih pun jauh dari harapan. Hal ini dikarenakan, pengembangan potensi kecerdasan seseorang hanya bisa optimal jika diberikan sejak usia dini melalui berbagai stimulasi seluruh indera dan emosionalnya.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

PINTER PISAN EUU!