Minggu, Juni 14, 2009
Selasa, Maret 03, 2009
SUDAH SEABAD KALEEE
Minggu, Juli 13, 2008
Jumat, Juni 13, 2008
Senyum...
Mungkin semua masih berpusar pada senja yang sama;
Tak menyapa melalui kata
Ia masih saja bersembunyi dalam gumpalan awan;
mengelam, kian meradang
Ini masih tentang sebongkah rasa yang merebak
Meruah-meruah dan tumpah
Masih tentang selarik senyum
Yang tak bisa kumengerti
Tak bisa kutandai…
Jika lembah jiwa bisa melandai
Dan mengecup pantai
Maka hanya satu kata yang bisa aku ucap mengenai senyum itu:
”Mengapa di binar mataku hanya mengenal senyummu?”
Rabu, Juni 04, 2008
NAPAK TILAS; MALANG PENUH KENANGAN...
26 Mei 2008...Masih terlintas di pikiranku, satu wajah yang akan kutemui nanti selepas maghrib. Wajah yang teduh, lembut dan... Aaah, kugelengkan kepala dan mencoba memfokuskan pandangan pada betapa berantakannya tempat ini. Spanduk-spanduk yang siap dibentangkan, karton, megaphone dan kertas-kertas bertuliskan tuntutan aksi bertebaran di ruang diskusi kantor PMII Cabang Kota Malang, tempat ampiranku sebelum ber cuap-cuap di Hall Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB). Di organisasi ini aku digembleng hingga mendapat banyak pengalaman dan aku sangat berterimakasih untuk itu.
Trrit trritt...sebuah sms melesak ke HP ku: ”Mbak, sudah siap atau belum? Kami akan jemput ke sana.” dan setelah kupastikan semuanya sudah ready kubalas sms dari Samsud, punggawa acara di FIA. Tak lama kemudian, sebuah mobil yang menurunkan tiga cowok mendekati kantor dan tanpa basa-basi yang berlebihan, kami segera meluncur menuju kantor BEM FIA. Sesampainya di sana, barulah aku tahu bahwa pembanding kali ini adalah ukhti dari KAMMI. Akhirnya, setelah menunggu sambil ber haha-hihi dengan beberapa ukhti, aku, Samsud dan ukhti Yani siap beraksi. Samsud selaku moderator memberikan waktu kepada Yani terlebih dulu karena ia punya appoinment dengan koleganya. Yani tak memberikan kritik apapun bahkan membantu promosi novel dengan banyak mengungkap nilai plus dari Trilogi Ning Aisya. Yang sempat membuatku tersenyum, ia mengatakan ”Membaca karakter Ning Aisya, saya seperti melihat refleksi diri saya sendiri.” Lah, kenapa begitu saja aku tersenyum? Ya, karena dia hanya membaca sekuel 1 dan 2 (sekuel ke 3 kebetulan lagi kosong), wah....coba dia baca sekuel 3. Aisya kan sudah nakal-nakalnya!
Pada season tanya jawab, peserta banyak bertanya mengenai teknis penulisan, dan di akhir acara mereka menjawab tantanganku dengan mendeklamasikan puisi tanpa membawa secarik kertas. Mereka berhasil!! Ah...senangnya melihat mereka antusias! Pukul 13.30, mataku tiba-tiba terasa berat. Setelah undur diri dan berbincang dengan panitia usai bedah novel, Samsud mengantarkanku kembali ke Kantor PMII yang memang hanya berjarak 2 Km dari FIA. Begitu sampai kantor, aku menyegel sebuah kamar dan mem privatisasi nya untuk 2 jam ke depan.
Sore hari kulalui dengan diskusi mengenai rencana aksi Menolak Kenaikan BBM yang digelar besok siang. Pukul 17.30, adzan maghrib berkumandang dan kami segera menunaikan sholat maghrib berjama’ah. Setelah menyantap rawon favoritku, aku diantar teman menuju UKM UAPM (Unit Aktivitas Pers Mahasiswa) yang pernah menjadi sekolah kedua ku. Melewati gedung UIN yang menjulang, aku benar-benar ulap (terkesima). Keren banget! Asli! Coba gedung kuliahku dulu sebagus ini! Aku belum tanek menikmati indahnya UIN Malang, kawanku sudah menyeret ke UAPM. Sudah ditunggu kawan-kawan katanya. Di UAPM...tempat yang memiliki akar sejarah kuat di hidupku, aku merasa begitu haru, malu, senang, tumplek bleg jadi satu. Mulai dari tatapan kagum kawan-kawan, kernyitan penuh heran, hingga gojlokan yang tak kunjung usai mewarnai 2 jam pertemuan kami. Dan, aku tak tau pada detik keberapa persisnya, wajah teduh itu datang dengan senyum yang amat kukenal. Seketika, UAPM mengganggu tetangga UKM dengan riuh tepukan, siul dan entah apalagi. Aku yakin wajahku memerah, tapi aku mencoba mengembalikan fokus kawan-kawan pada diskusi sastra yang sedang kami lakukan. Yang paling kusyukuri dari pertemuanku dengan kawan-kawan UAPM adalah, aku bisa membuktikan diri bahwa meski aku hanya sebentar di UAPM, aku bisa menjadi seseorang yang berbeda (thanks a lot MATAPENA). Pukul 20.00 kami harus mengakhiri diskusi karena (aku baru tahu tentang ini) ada jam malam di kampus. Yah, meski sebenarnya kami masih betah, akhirnya kami hengkang juga.
Adalah Ani Rufaidah, orator ulung, penulis handal (ia juara LKTI tingkat Nasional) sekaligus kawanku di PMII dan UAPM yang mengajakku ke Averrous, sebuah NGO yang dimotori oleh kaum aktivis yang mengedepankan demokrasi dan progresifitas berfikir. Sesampainya di Averrous, yang buku-bukunya tadi pagi kutemukan di kantor PMII, aku menjadi mustami’ yang nggak nyambung dikarenakan keterlambatan hadir dan mata yang tidak bisa diajak kompromi. Pukul 22.30, aku menyerah. Diskusi ini bisa berlangsung sampai dini hari, sedangkan besok masih banyak yang harus kulakukan. Kami pamit dan Ani mengajakku ke kantornya, KOMDEK (Komunitas Malang untuk Demokrasi) yang dihuni oleh dua orang cewek. Masih belum subuh saat aku terbangun dan melihat Ani dan temannya masih berkutat dengan kesibukan. ”Belum pada tidur dari semalem?!” Mereka menggeleng sambil senyum-senyum penuh arti. Wah, kalau jadi aktivis ya gini deh, nglowo!
Sudah masuk 27 Mei 2008 ketika mantan sekertaris umum PMII Malang menjemputku di KOMDEK. Usai sarapan dan berkeliling di areal kampus, akhirnya aku bertemu dengan Azizah Hefni alias Zizi, cerpenis jebolan Bahrul Ulum yang sudah mengantongi predikat juara 2 lomba tulis cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan Menpora. Kami berdua meluncur ke rumah sastrawan Malang kaliber nasional, Ratna Indraswari Ibrahim. Di sana, Mbak Ratna banyak bertanya mengenai tulisanku. Melihat mbak ratna yang sangat produktif di usia senja, hatiku begitu trenyuh. Mengapa aku tidak pernah semangat menulis, padahal Allah sudah memberiku tubuh yang sehat dan usiaku masih muda. Pukul 13.30 siang, aku dan Zizi pamit. Tak berapa lama usai kami merebahkan badan, pukul 16.00 aku dibawanya menuju UKM LKP2M (Lembaga Kajian Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa) untuk mengisi diskusi sastra. Sejatinya, LKP2M banyak menelurkan orang-orang berbakat. Sebut saja, Fauzi Muda, penulis buku Perempuan Hitam Putih; Pertarungan Kodrat Hidup vis a vis Tafsir Kebahagiaan dan Sufi Juga Manusia, juga Ahmad Makki Hasan yang sangat produktif menulis di situs Penulis Lepas dan di banyak media. Tepat saat adzan magrib berkumandang, kami bubar barisan dan aku mengisi waktu dengan mencari makan. Pukul 20.00, aku didaulat untuk sharing pengkaderan di PMII Rayon Chondrodimuko UIN Malang. Energiku sudah menurun dan saat jarum jam menunjuk ke angka 22.00 aku minta undur diri. Maksud hati ingin segera tidur, tapi sahabat-sahabat Chondro dan BEM Tarbiyah menghendaki perbincangan intens mengenai bedah novel Ning Aisya yang akan diselenggarakan 7 Juni nanti. Aku menurut dan bilang pada mereka, ”Langsung pada persoalan ya, aku capek.”
Ha..ha...siapa nyana, di cafe lesehan N-PYE yang semarak, aku berjumpa dengan banyak sahabat PMII termasuk Fauzi Muda dan Liga Alam (teman di Forum Penulis Kota Malang yang merupakan penulis beberapa novel dan buku yang aku lupa judulnya). Ah, kalau bukan karena diingatkan kawanku, mungkin aku akan terus nyerocos padahal kala itu jarum jam sudah menujukkan pukul 1 dini hari. Akupun bergegas pergi dan semuanya kembali ke base camp masing-masing. Pagi harinya (28 Mei), aku mengisi waktu dengan silaturrahmi ke Pak Marno, dosen favoritku dan ke beberapa teman lama. Merapat di pukul 8 malam, aku didaulat untuk mengisi di HIMMABA (Himpunan Mahasiswa Malang Alumni Bahrul Ulum) hingga pukul 11. Bergerak menjauh dari kantor Himmaba, aku merasa plong, esok hari aku sudah bisa kembali ke rumah. Tapi, ternyata masih ada satu hal yang menyesakkan dadaku.
Wajah teduh itu masih saja pucat. Di selaput tenggorokannya ada darah yang hanya tampak ketika ia batuk dan mulai meludah. Dan semua orang meyakini itu terjadi karena aku pergi darinya 3 tahun silam..
Minggu, Mei 18, 2008
KI HADJAR DEWANTORO
Ing ngarso sung tulodo — di depan memberi teladan
Ing madyo mangun karso — di tengah membangun karya
Tut wuri handayani — di belakang memberi dorongan
Itulah tiga kalimat dari ajaran seorang ningrat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Pelopor Perguruan Taman Siswa ini kemudian diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional dan hari lahirnya 2 Mei 1889 diabadikan menjadi Hari Pendidikan Nasional oleh pemerintah pada tahun 1959.
Ki Hadjar Dewantoro memulai jenjang pendidikannya di Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) lalu k STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tidak tamat, dilanjutkan ke Europeesche Akte, Belanda dan mendapat Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957 dan meninggal pada tahun 1957.
Ki Hadjar Dewantara adalah sorang jurnalis yang pernah bekerja sebagai wartawan media cetak: Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara selain itu, beliau aktif dalam masa pergerakan nasional di dalam organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan Indische Partij pada tahun 1912. Sebuah momen yang kita kenal menjadi Kebangkitan Nasional, dirayakan setiap 20 Mei. Bahkan pada tahun 1913 beliau secara politik aktif dalam menentang Perayaan Seratus Tahun Belanda dari Prancis melalui Komite Bumiputra. Ditentangnya perayaan tersebut adalah karena pihak Belanda memeras rakyat untuk kepentingan perayaan tersebut. Salah satu ucapannya yang ditulis dalam koran Douwes Dekker de Express adalah bertajuk Als Ik Eens Nederlander Was –Seandainya Aku Seorang Belanda– yang berbunyi:
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun.
Akibat tulisan tersebut beliau dibuang tanpa proses pengadilan ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg, namun atas tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo hukuman tersebut berganti menjadi dibuang ke negeri Belanda.
Sepulang dari pengasingan di Belanda –yang beliau gunakan juga untuk memperdalam ilmu– ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa –Perguruan Nasional Tamansiswa– pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.