1: Bocah kelas 4 SD, berdiri di ruas jalan bersama ketiga temannya.
“Seharusnya kita tak perlu membolos!!” Sesal Indri, kawanku sejak kelas 1.
“Lantas, kenapa kau tadi ikut?!!” Bentakku, terang saja Indri langsung mengkeret. Septian dan Eko yang berdiri di sisi kiri Indri cuma cekikikan.
Aku, Leo, adalah siswa kelas 4 SDN 1 yang tak takut dengan anak sekolah SD manapun. Bahkan pada mereka yang sudah kelas enam. Apalagi cuma membolos dua jam pelajaran Bahasa Inggris yang membosankan!
Bagiku, apa yang aku, Indri, Septian dan Eko lakukan jauh lebih berharga ketimbang duduk manis mendengarkan Bu Ratmi bercerita dalam bahasa Inggris lalu meminta pada kami untuk menceritakannya kembali.
“Lihat, mereka mulai bergerak ke sini!!” Teriakan Septian membuyarkan lamunanku.
Seketika mulutku menyeringai lebar. “Waaw, keren banget ya? Lihat tuh yang berdiri di depan sambil megang megafon!! Pasti dia ketuanya!”
“Kalo kita gede, apa kita juga bisa seperti mereka?” Indri membetulkan letak gagang kaca matanya.
Aku mengangguk. “Nah, itulah pentingnya kita berdiri di sini. Aku percaya, suatu saat kita akan menggantikan mereka. Oleh karena itulah, kita harus melihat langsung dari sini agar tau aksi mereka secara menyeluruh.”
“Iya, ketimbang cuma dengarkan dongeng kan?” Sambung Eko sambil melambaikan tangan pada berduyun-duyun manusia yang menerjang dari ruas selatan.
Mataku mengawasi tiap gerak-gerik kakak-kakak mahasiswa. Dalam hati aku bertekad untuk jadi lelaki yang kuat. Yang pemberani dan ditakuti seperti ketua para demonstran yang mampu berteriak lantang:
HIDUP MAHASISWA!!
HIDUP RAKYAT!!
Bahkan dengan tenang tanpa teguran guru dan kekangan norma kesopanan berteriak:
ANJING!!
BULL SHIT!!
2. Dewa, Asisten teritorial (aster). Berdiri mengamankan rombongan demonstran yang putar haluan.
Buru-buru kutengok jam tangan. Jam dua belas lewat tujuh menit! Itu artinya, kami sudah melakukan aksi hampir 4 jam lamanya sementara matahari masih saja garang menerjang. Rencananya, kami akan bubar pukul 13.00 nanti. Berdasar rencana aksi yang sudah disepakati semalam, kami tak perlu melakukan long march dari Jl. Mawar hingga ke bundaran Rumah Sakit Amalia. Tapi sekarang?
Barikade polisi tentu sama terkejutnya denganku. Mereka tak mengira kami akan berputar haluan dari kantor DPRD ke arah alun-alun Kota. Barangkali Fredi Korlap melihat bahwa bisa terjadi chaos kalau kami tak segera beranjak dari kantor DPRD lantaran ada beberapa Ormas yang mendesak ingin berjumpa dengan ketua DPRD dalam rangka memperjuangkan hak-hak buruh. Tapi, ketua DPRD belum juga turun. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan long march melewati bundaran RS menuju alun-alun.
Satlantas yang sedikit terlambat mendeteksi arah gerakan kami, tak sempat membuat line khusus atau jalur alternatif karena massa sudah bergerak cepat dan memadati ruas jalan. Aku sendiri, selaku asisten teritorial, berdiri di samping barisan demonstran, membelakangi para pengendara jalan yang mulai memencet-mencet klakson saking tak sabarnya.
Sekujur tubuhku yang telah dilumat keringat, membuat adrenalinku berpacu cepat. Kubalikkan badan, menghadap pengendara motor yang memandangku nyalang.
“Sabar dikit kenapa sih Pak?” Tanyaku emosional.
“Demo ya demo Mas, tapi kenapa tiba-tiba menggunakan jalur sempit ini? Kami terlanjur sampai sini dan terjebak oleh aksi kalian! Aku harus buru-buru antar anakku ke Rumah Sakit!” Jawab Bapak berkumis lebat dari atas motornya.
“Kami ini sedang berjuang untuk rakyat. Menentang Bush yang sama sekali nggak menghargai HAM!! Jadi, tolong, bersabarlah Pak! Paling-paling lima belas menit lagi bersih!” Aku berusaha menurunkan intonasi. Tapi, kulihat air muka bapak itu justru tertawa memuakkan. Lebih tepatnya melecehkan.
“Dan apakah kalian tidak mengganggu hak kami sebagai pengguna jalan?!”
Aku tersentak, sejenak. Kupelototi bapak itu tanpa sungkan. “Ok, kami akan bergerak secepatnya! Jadi tolong jangan pencet bel lagi. Pekak tau!!”
Dengan langkah cepat, kuambil megafon di tangan Endang, meneriakkan kepada semua barisan untuk mempercepat langkahnya menuju alun-alun kota. Sekilas, aku melihat kantor DPRD yang masih dipadati Ormas lain. Tampak seorang anggota DPRD berdiri menenangkan massa dengan dikawal ketat oleh aparat.
“Ah, andai aku ketua DPRD dan bukan mahasiswa lebus begini, tentu bapak berkumis tadi tak berani melecehkan aku seperti itu!!” Runtukku sambil mengembalikan megafon pada Endang sang orator.
3. Ketua DPRD, mengusap peluh dan mengintip lewat korden ruangan .
Ah, tau apa anak-anak bau kencur itu tentang hak-hak buruh?
Mereka tak paham, bahwa industri membutuhkan tenaga kerja murah untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan? Toh buruh-buruh itu memang layak dapat pesangon seadanya, daya nalar intelektual mereka kan rendah?!
Tapi, saya akan mencoba untuk bersikap tenang dan tersenyum. Bukankah setiap pejabat haruslah bersikap selayaknya orang terhormat? Berpakaian selalu rapi dan wangi, berjalan tegap tanpa banyak cakap, kalau ingin tertawa atau tersenyum, cukup dikulum?
Ah, kalau boleh jujur. Saya juga ingin sesekali melepas jas lantaran sinar matahari yang kian mengganas. Saya pun ingin tergelak saat melihat mahasiswa yang orasi tiba-tiba tersedak. Saya melongokkan kepala, ingin tahu berapa banyak lagi massa yang bergerak ke mari karena itu sangat berpengaruh pada berapa menit lagi saya berdiri kaku di sini. Ya, saya toh manusia biasa yang berhak merasa lelah bukan? Namun, alangkah terhenyaknya saya saat melihat empat orang bocah berpakaian merah putih berdiri di ruas jalan Mawar.
“Sekarang masih jam dua belas kan?” Tanya saya pada ajudan
“Iya pak, lebih tepatnya jam dua belas lewat tujuh menit.” Jawabnya sambil sedikit membungkuk.
Alis saya bertaut. Bukankah mereka belum waktunya pulang sekolah? Kenapa bisa ada di sana sambil melambaikan tangan pada para demonstran? Apa mereka berfikir bahwa para demonstran adalah pahlawan? Lalu, apakah kerja keras saya tidak layak dibanggakan dan hanya menjadi sasaran kecaman bila ada sedikit saja kesalahan?
“Pak Min, berat ya jadi DPR. Coba kamu lihat anak-anak SD di sana. Enak ya mereka? Lambaian tangan mereka pada demonstran menunjukkan bahwa mereka bahagia dan tenang. Sedangkan kita? Pusing!!”
Pak Min menatap saya dengan raut tak mengerti.
4. Anggota SATLANTAS, hobi ‘nyari uang tambahan’
“Yang anjing itu kalian!! Mengganggu rencanaku untuk operasi dadakan di simpang tiga!” Aku mengoceh lirih, karena aku tau berteriakpun takkan berarti apa-apa dibanding gegap gempita mahasiswa.
Memang masih pertengahan bulan, tapi gara-gara istri minta perhiasan, aku terpaksa operasi sendirian. Yah, itung-itung nambah penghasilan dari para pengguna jalan yang tidak taat peraturan. Tapi kalau ada demo begini, ya harus stand by di tempat! Wah, gagal deh rencanaku!!
“Hei!!” Teriakku sambil memasang muka sangar pada empat bocah SD yang hendak ikut dalam barisan demonstran. “Kalian anak SD jangan ikut-ikutan!!”
Mungkin karena badanku tinggi-kekar, keempat bocah itu langsung gemruduk mundur ke belakang.
“Sial!!” Umpatku saat seorang asisten territorial tanpa sengaja menabrak tubuhku. Tanpa rasa bersalah, aster tersebut tetap berlari menuju seorang orator perempuan dan meminta megaphone darinya. Tak lama kemudian, aster tersebut mencoba untuk mengendalikan massa agar bergerak lebih cepat.
Saking kesalnya, aku bergerak mundur menjauhi rombongan demonstran tanpa sepatahpun kata pisuhan yang boleh terlontar. Kami, para aparat diajarkan untuk tak terprofokasi oleh ocehan demonstran yang dengan anarkhis turut mengatakan kami ‘anjing’ hanya karena kami bersikukuh menjaga stabilitas dan keamanan warga lain. Mati-matian aku menahan diri untuk bersabar dan diam. Sekilas, tampak olehku, seorang bapak pengendara motor. Ada kumis melintang kasar di wajahnya. Mulutnya mengocehkan kata-kata, entah apa tentu tak kedengaran dari sini. Tapi, dari ekspresi wajahnya, nampak kalau ia sedang memaki-maki para demonstran yang mungkin ia nilai mengganggu aktifitasnya.
Ah, andai aku bukan polisi. Andai aku cuma pengendara dan bukan aparatur Negara, tentu aku tak dibebani kewajiban untuk bersabar dan diam seribu bahasa. Bukankah aku, juga kawan-kawan polisi lainnya juga manusia biasa yang punya amarah?
5. Pengendara motor berusaha menenangkan anak lelakinya yang terserang muntaber lantaran terjebak dalam arus demonstran
Untung saja, Boby sudah kuberi pampers. Kalau tidak, bisa jadi dia kecirît di celana lantaran macet di tengah jalan.
“Pak, Boby nggak tahan nih. Pengen muntah juga…” Runtuk Boby dari belakang punggungku.
“Tenang ya Bob.” Ujarku sambil memencet klakson berulang-ulang. Aku benar-benar bingung, risau, kenapa para demonstran tak menghormati pengguna jalan? Kenapa mereka tak tertib dan bersikap serta berbicara sopan? Mengapa mereka menjatuhkan kebesaran almamaternya dengan bersitegang dengan Ormas lain hanya untuk sebuah prestise atau politik media? Lantas, benarkah mereka melakukan semua ini sebagai bentuk rasa tanggungjawab dan kepedulian akan nasib bangsa, ataukah hanya sebagai upaya memulihkan citra pergerakan yang terlanjur melempem? Lucu sekali jika mahasiswa pada akhirnya hanya terephoria dengan status sosialnya tapi tak punya taring!! Atau memang punya taring dan kuku tajam tapi hanya untuk dikatakan sebagai ‘singa jantan’ dan bukan menopang kepentingan rakyat dan kemaslahatan!!
Seorang mahasiswa gondrong yang aku yakin bertindak sebagai aster dengan tidak sopan memprotes suara klaksonku yang katanya membuat telinganya pekak. Saat ia bicara soal HAM, kubilang saja , bukankah dia juga sedang melanggar hakku?
Ha..ha…lucu rasanya mendengar mulutku berbicara soal HAM. Padahal, puluhan tahun silam. Tepatnya pada akhir 1965. Saat aku masih menjadi aktifis mahasiswa yang memperjuangkan TRITURA. Dengan almamater warna kuning kebanggaan kami, kami melakukan aksi yang bahkan jauh lebih dahsyat ketimbang saat ini.
Dengan kasar kami memblokir jalan, merampas es dari penjual minuman lantaran kami kehausan dan tak jarang kami meninggalkan kewajiban ritual semisal sholat dan diganti dengan orasi-orasi yang diselipi kata-kata ‘anjing’, ‘bangsat’ dan sebagainya. Dzikir dan mengaji berganti spaneng-spanengan membicarakan strategi gerakan.
Kini, aku berada dalam posisi rakyat biasa yang sibuk mengurus keluarga. Bukan mahasiswa yang selalu tampak keren, idealis, berapi-api dan selalu merasa benar, menjadi pejuang rakyat dan sebagainya.
“Bapak, sudah bisa lewat tuh!” Boby mengembalikan kesadaranku menuju bumi.
Segera kustrarter motor dan melaju cepat menuju RS. Melati. Wajah Boby tampak semakin pucat dan penuh keringat. Sesegera mungkin aku menemui dokter . Namun betapa terkejutnya aku sesaat setelah Boby diperiksa, Pak Dokter mengatakan bahwa Boby harus menjalani rawat inap. Tanpa banyak pikir kuiyakan saja saran dokter, walaupun sebenarnya……
***
12.50 WIB. Merenung di halaman Rumah Sakit…
“Bagaimana ini, uang terbatas, si Boby masih harus rawat inap…” Runtukku pada bangku kosong di depanku.
“Hutang? Hutang kemana?” Cerocosku pada sang surya.
Kuperas otak.
“Aha!! Iya, aku ingat, Pak Gum punya hutang 500 ribu padaku sebulan lalu. Ya, kenapa tak aku tagih sekarang?” Kusambar jaket yang kuselempangkan asal saja di bangku halaman. Kupakai dengan tergesa, setergesa langkahku menuju gerbang keluar.
“Pak!! Pak yang berjaket hitam dan berkumis!!” Suara seorang bocah serasa membuntutiku.
Kutoleh. Ternyata hanya bocah penjual koran seusia Boby yang pincang di kaki kiri. Di tangan kanannya ada…
Kudekati ia, setengah berlari. “Kamu temukan dimana, Nak?”
“Di dekat bangku sana. Kelihatannya jatuh saat Bapak buru-buru memakai jaket..” Diangsurkannya dompet kumal padaku dan kubalas dengan rasa terimakasih yang mendalam.
“Masih sekolah, Nak?” Tanyaku pada akhirnya.
“Ya, tapi hari ini aku bolos..” Jawabnya sembari menundukkan kepala. Terlihat sangat menyesal tidak dapat mengikuti pelajaran. Aku jadi teringat empat orang anak yang mungkin juga membolos ‘hanya’ karena ingin melihat demo beberapa menit lalu.
“Ibuku sakit. Aku harus mencari uang tambahan untuk pengobatan beliau. Jadi, aku harus kerja ekstra. Biasanya sih cuma jual minuman sehabis pulang sekolah Pak.”
Penjelasannya benar-benar menohok ulu hati. Menggantungkan tanda tanya dalam benak diri. “Maaf, tapi sejujurnya aku sedikit heran. Bukankah kamu sedang sangat membutuhkan uang, jika kamu mau tentu kamu bisa mengambil uang dalam dompetku bukan?”
Bocah pincang itu tersenyum, menggeleng. “Ibuku pernah mengatakan padaku -setiap orang tentu mempunyai hak dan kepentingan, tapi kita harus menghormati hak dan kepentingan orang lain- Begitulah Pak…”
Mulutku melongo. Jiwaku serasa ditampar dan kesadaranku terlempar. “Oh, Tuhan, dalam kesederhanaan dan keterbatasannya, bocah sekecil dia ternyata jauh lebih arif dari pada kami yang melulu melakukan sesuatu atas dasar kepentingan individu. Oh Tuhan..berikan kami kesadaran…”